Chanelmuslim.com – “Mah aku minta uang untuk jajan ya, hari ini kan aku belum jajan,” ujar Imran anakku yang akan menginjak usia 7 tahun.
Aku kemudian memberikan uang Rp 2.000 seraya berpesan, “habis jajan langsung pulang ya tidak bermain dulu, ini kan masih siang panas terik.”
Dan tidak lama Imran kembali dengan membawa jajanannya. Aku melihat sekilas, dia membeli coklat yang berhadiah kartu. Aduh mulai lagi otakku kembali berputar, memikirkan apa yang harus dilakukan karena masalah kartu ini hampir menyita seluruh pembicaraannya setiap hari. Tidak hanya bersama teman, tetapi juga dengan adik dan aku ibunya.
“Mah hebat deh kartu ini…bla bla…” sambil menceritakan poin atau tokoh superhero dalam kartunya.
Mungkin tampak sepele, hanya kartu saja, dengan harga yang tidak seberapa. Tapi, jika kartu itu sudah menjadi seperti candu aku menjadi khawatir. Belum lagi dengan perkataan hebat kartunya begini begitu.
Anak baru mau 7 tahun udah ribet ah segala main kartu aja ribut. Mungkin ada orang tua yang berpikiran seperti itu. Tapi masalah kartu ini memang membuatku mememutar otak. Karena jika kartu ini sudah menjadi candu, sudah terus ada dalam benaknya, sudah sampai dibilang hebat dan menjadi terobsesi ingin memiliki kartu lengkap atau terus mencari kartu yang diinginkan, berarti ini sudah pada level peringatan untukku.
Sebagai orang tua yang menginginkan anak yang shalih dan menggenggam erat imannya, mainan kartu ini sungguh mengancam. Mengancam pemahaman tauhid, mengancam kecerdasan otaknya, mengancam hafalan Alqurannya.
Seorang ustadz pernah mengatakan bahwa permainan memang fitrahnya anak-anak. Janganlah dilarang bermain, karena dari 0-6 tahun memang waktu anak-anak lebih banyak bermain. Biarkan anak bermain tetapi bukan bermain gadget, meski permainan balapan tetapi jika digadget otaknya tidak berkembang. Ketegangan mungkin ada saat bermain gadget tapi tidak membuatnya berfikir tidak ada stimulus. Lihatlah bagaimana Rasul mengajak bermain cucu-cucunya dan anak-anak kecil. Rasul sering mengajak berlomba lari untuk memeluknya, sehingga ada yang dapat memeluk punggungnya, kakinya. Permainan yang baik adalah permainan yang tidak menimbulkan kecanduan.
Dan kini ku melihat anakku bermain kartu, berbicara tentang kartu-kartunya sepanjang hari. Hingga setiap meminta uang, dipakainya untuk makanan dengan hadiah kartu.
Hingga akhirnya momen itu muncul. Aku tengah mencari-cari sosok mujahidah untuk bahan tulisan, dan sampailah pada Ummu Umarah. Aku pun mengajak Imran dan adiknya duduk dan membaca, sungguh hebat kisah Ummu Umarah, melawah musuh dengan pedang dan tameng melindungi Rasulullah bersama anak dan suaminya. Ketika musuh yang menggunakan kuda mendekat ia dengan berani melawannya hingga kuda pun ambruk dan dia berhasil melumpuhkan lawan.
Dan akupun kembali membuka memorinya, siapakah yang menurutnya hebat, superhero-superhero fiktif itu setiap bertempur hanya satu lawan satu dengan kekuatan buatan, bahkan terkadang hanya satu musuh utama yang dilawan oleh 3 superhero, bahkan lebih. Bayangkanlah dengan Rasul dan para sahabat di Perang Badar, Perang Uhud dan perang lainnya kadang satu orang harus melawan dua atau tiga orang. Mereka bertempur dengan tujuan mulia, menegakkan Islam dengan bayaran surga.
Mungkin ini doktrin, biarlah ini baru salah satu cara untuk mencuci otaknya yang terlanjur kenal lebih dulu dengan superhero fiktif. Terlambat mungkin mengenalkannya pada superhero Islam seperti Khalid bin Walid, Hamzah atau lainnya. Lebih baik terlambat daripada kemudian terus membiarkannya dengan bayangan superhero pemberantas kejahatan. Semoga Allah memudahkanku dan merahmati kami dan memorinya terisi dengan bayangan kemuliaan para superhero Islam yang berjuang menegakkan Islam dan menegakkan syariat, aamiin.
Memang tidak serta merta Imran menjadi tertarik dan langsung berubah. Karena superhero fiktif itu telah melekat di benaknya, diperkuat dengan teman-temannya yang membicarakan hal yang sama. Maka usaha untuk memunculkan superhero Islam harus lebih gigih lagi, lebih intens dan pastinya butuh perjuangan. Karena superhero Islam tidak ada di tv, tidak menjadi pembicaraan favorit bersama teman-temannya.
Curhatan Ummu AhsanIkhsan