ChanelMuslim.com- Menikah itu membentuk keluarga baru. Tapi, bagaimana jika keluarga lama tetap ingin bersama yang baru.
Keluarga baru itu biasanya terdiri dari suami dan istri. Dari keduanyalah kelak akan lahir anggota keluarga berikutnya: anak-anak.
Namun, ada kalanya keluarga baru yang terbentuk tidak cuma suami dan istri. Tapi juga ibu. Selain tidak ada lagi suami, ibu lebih memilih tinggal dengan puteranya yang baru beristri.
Jika masing-masing pihak, istri dan ibu, saling memberikan respon positif, perjalanan gabungan keluarga lama dan baru itu mungkin tidak akan memunculkan masalah.
Lain halnya jika respon keduanya saling memberikan sinyal negatif. Tarik-menarik antara istri dan ibu pun boleh jadi tak lagi bisa dihindari. Dan ini menjadi beban berat suami.
Antara Istri dan Ibu
Secara syariat, ibu lebih kuat kedudukannya di banding istri. Hal ini pernah disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika seseorang bertanya: siapa yang lebih berhak terhadap suami? Rasul menjawab, ibunya.
Namun, tidak berarti bahwa istri bisa dikorbankan begitu saja. Karena di hadis lain, Nabi juga mengatakan, sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istri dan anak). Dan aku yang terbaik terhadap keluargaku.
Ibu memang paling berhak terhadap puteranya. Tapi di sisi lain, puteranya juga memiliki kewajiban terhadap istrinya.
Hubungan istri dan ibu bagi seorang suami memang sepatutnya tidak menjadi dikhotomi mana yang lebih utama dan mana yang bisa dikorbankan. Tapi menjadi tantangan baru untuk bisa diselesaikan atau diluruskan.
Mendudukkan Dua Hati
Persoalan ini boleh jadi bukan konflik dua hati wanita. Tapi, lebih sebagai persoalan bagaimana mendudukkan dua hati itu.
Baik ibu maupun istri, sebenarnya dua-duanya menunjukkan rasa cinta kepada putera dan suami. Artinya, dua-duanya sama-sama dalam ekspresi ingin memberikan kebaikan. Ibu ingin memberikan kebaikan untuk puteranya. Dan istri juga dalam track yang sama.
Persis seperti dua teko dengan isi yang berbeda ingin dituangkan di gelas yang sama. Jika salah penyikapan, bukan minuman segar yang tertuang dalam gelas. Tapi dua minuman yang bertabrakan rasa.
Karena itu, mendudukkan dua hati di posisinya menjadi tugas berat suami. Satu hati ibunya, dan satu hati istrinya.
Ibu Ingin Menguasai, Istri Ingin Memiliki
Dua titik ekstrim itu semoga tidak terjadi. Yaitu, adanya rasa ingin menguasai seorang ibu terhadap hati puteranya. Hal ini muncul sebagai ekspresi kecemburuan ibu dengan istri puteranya.
Rasa ingin menguasai juga menunjukkan bahwa ibu merasa paling berjasa terhadap puteranya. Ia yang melahirkan, membesarkan, membiayai, dan mengarahkan.
Sementara titik ekstrim di istri adalah rasa memiliki diri suami. Ekstrim dalam arti kemunculan itu sebagai bentuk persaingan dengan ibu suami. Bukan dalam keadaan wajar.
Sekali lagi, semoga bukan ini yang sedang terjadi. Kalau memang itu yang terjadi, pemisahan dua ruang boleh jadi cara sementara yang terbaik. Yaitu, ibu dan istri berada di rumah yang berbeda.
Pemisahan ini bukan untuk mengorbankan salah satunya. Tapi untuk meminimalisir mudharat yang terjadi. Juga diharapkan, dengan cara ini akan ada ruang merenung dan merasakan kekhilafan masing-masing pihak. [Mh/bersambung]