ChanelMuslim.com- Hadits: “Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa yang menghendaki ilmu maka datangilah pintunya.”
Ungkapan ini sempat tenar di negeri ini dalam bentuk lagu, yang dibawakan oleh Haddad Alwi dan Sulis.
Hadits: “Aku Adalah Kotanya Ilmu dan Ali Adalah Pintunya
Baca Juga : Pernikahan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أنا مدينة العلم ، وعلي بابها ، فمن أراد العلم فليأته من بابه
“Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa yang menghendaki ilmu maka datangilah pintunya.” (Diriwayatkan oleh Al Hakim, Al Mustadrak No. 4637, katanya: isnadnya shahih, dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim) dengan sanad: menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub, menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim Al Harawi, menceritakan kepada kamiAbu Shalt Abdussalam bin Shalih, telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma (lalu disebut hadits di atas).
Juga oleh Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar, Ath Thabarani (Al Mu’jam Al Kabir, 3/108/1), Al Khathib (Tarikh Baghdad, 11/48), dan Ibnu ‘Asakir (Tarikh Dimasyq, 12/159/2).
Dari jalan Abu Shalt Abdussalam bin Shalih Al Harawi, telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas secara marfu’. Al Hakim dan Ibnu Jarir telah menshahihkan hadits ini.
Penshahihan yang disebutkan oleh Al Hakim dan Ibnu Jarir ini, lantaran bagi mereka Abu Shalt Abdussalam bin Shalih adalah tsiqah, ma’mun (amanah), dan shaduq (jujur), sebagaimana dikatakan Imam Yahya bin Ma’in (Lihat Al Mustadrak No. 4637).
Namun, hal ini telah dikoreksi para ulama. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Justru hadits ini palsu.” Beliau mengoreksi pujian Yahya bin Ma’in terhadap Abu Shalt, dengan mengatakan: “Tidak, demi Allah, dia tidak tsiqah dan tidak amanah.” (As SilSilah Adh Dhaifah, 6/519).
Al ‘Uqaili mengatakan: rafidhi (Syi’ah) yang busuk. Ibnu ‘Adi mengatakan: dituduh sebagai pemalsu hadits. An Nasa’i mengatakan: bukan orang yang bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan; rafidhi yang busuk dan dituduh sebagai pemalsu hadits. (Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/616)
Sebenarnya, sikap Imam Yahya bin Ma’in dalam mentautsiq [mentsiqahkan] Abu Shalt tidaklah jazm [pasti]. Lantaran ucapannya yang berbeda-beda terhadap Abu Shalt ini. Dia pernah menyebutnya: tsiqah. Pernah juga menyebut: tsiqah shaduq [bisa dipercaya dan jujur]. Pernah juga menyebut: aku tidak tahu kedustaannya. Juga pernah menyebut: menurut kami dia bukan termasuk pendusta [ahlul kidzb]. Pernah juga mengatakan: laisa mimman yakdzib [dia bukan termasuk orang yang berdusta]. Pernah juga mengatakan: huwa shaduq [dia jujur]. Bahkan dia pernah mengatakan; aku tidak mengenalnya.
Oleh karena itu, Syaikh Al Albani menilai bahwa tautsiq yang dilakukan oleh Yahya bin Ma’in ini dianggap idhthirab [goncang]. Ditambah lagi dia menyendiri dalam hal ini, sementara para imam lain telah mendhaifkan dan mencela Abu Shalt, maka dari itu mesti berpegang pada mereka bukan, kepadanya [Ibnu Ma’in]. (As Silsilah Adh Dhaifah, 6/519-520).
Adapun tentang hadits ini, Yahya bin Ma’in pun memiliki beberapa sikap.
Pertama dia mengatakan: shahih. Pernah juga mengatakan: maa hadza fil hadits bi syai’ [hadits ini tidak ada apa-apanya]. Pernah juga beliau mengingkarinya secara keras, setelah beliau ditanya oleh Yahya bin Ahmad bin Ziyad tentang hadits ini. Pernah juga mengatakan; hadits bohong dan tidak ada asalnya. Pernah juga mengatakan: aku belum pernah sekali pun mendengar hadits ini, kecuali telah disampaikan padaku darinya [Abu Shalt]. (Ibid, 6/520-521) Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan dengan tegas bahwa hadits ini maudhu’ [palsu]. (As Silsilah Adh Dhaifah, 6/518-519)
Baca Juga : Menjadi Muslimah Idaman Suami dan Mertua
Sementara itu dalam Al Maqashid Al Hasanah, para ahli hadits telah mendhaifkan hadits ini. Ad Daruquthni mengatakan: hadits ini idhthirab [goncang] dan tidak tsabit [kuat]. At Tirmidzi mengatakan: munkar.
Al Bukhari juga mengatakan hadits ini tidak memiliki jalur yang shahih.
Ibnu Ma’in mengatakan: dusta dan tidak ada asalnya, sebagaimana dikutip oleh Al Khathib dalam Tarikh Baghdad-nya. Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab Al Maudhu’at [deretan hadits palsu] dan Adz Dzahabi dan lainnya menyepakati hal itu.
Adapun Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan: mereka tidak menguatkan hadits ini.
Disebutkan; bahwa hadits ini bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 54. Syamilah)
Dalam Kasyful Khafa’ juga disebutkan seperti di atas, namun ada beberapa tambahan.
Yaitu komentar dari Abu Hatim dan Yahya bin Said bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, 1/204. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Catatan:
Dalam hadits-hadits shahih, banyak diceritakan tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib, maka cukuplah kita dengan riwayat-riwayat tersebut.
Bahkan keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, juga tertera dalam Alquran. Di antaranya:
هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ
“Inilah dua golongan [golongan mukmin dan golongan kafir] yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.” (Q.S. Al Hajj [22]: 19)
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika mubarazah [duel] awal dalam perang Badar, yakni antara Hamzah, Ali, dan Abu Ubaidah [sebagai golongan beriman], melawan Syabah bin Rabi’ah, ‘Utbah bin Rabi’ah, dan Al Walid bin ‘Utbah [sebagai golongan kafir]. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/405) Ayat lain:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama.” (Q.S. As Sajdah [33]: 18)
‘Atha bin Yassar, As Suddi dan lainnya mengatakan ayat ini turun tentang Ali bin Abi Thalib [mu’min] dan ‘Uqbah bin Abu Mu’aith [fasiq]. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/369) Wallahu A’lam.[Ind/Wld].
Sumber : Alfahmu.id