ChanelMuslim.com – Bertakbir pada Hari Raya. Kita dianjurkan untuk bertakbir pada hari raya, selain ini menjadi syiar Islam yang begitu kuat, ini juga diperintahkan dalam Al Quran dan dicontohkan dalam As Sunnah.
Baca Juga: Masbuk Wajib Takbiratul Ihram atau Langsung Ikut Gerakan Imam
Ada dua pembahasan dalam hal ini, yaitu bertakbir pada IDUL FITHRI dan IDUL ADHA.
a). Untuk bertakbir pada Idul Fitri Allah Ta’ala berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ْ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Q.S. Al Baqarah (2): 185)
Waktu Takbir Hari Raya
Ayat di atas dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i dan yang menyepakatinya, bahwa bertakbir pada hari Idul Fitri adalah dimulai ketika berakhirnya Ramadhan pada saat tenggelamnya matahari.
Istilah di negeri kita adalah malam takbiran. Pada ayat ini, diperintahkan untuk mulai bertakbir ketika sudah sempurna bilangan puasanya,
dan bilangan puasa telah cukup sempurna setelah mereka berbuka pada puasa terakhir Ramadhan di malam harinya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وقال قوم التكبير من ليلة الفطر إذا رأوا الهلال حتى يغدوا إلى المصلى وحتى يخرج الامام
Segolongan ulama mengatakan bahwa bertakbir dilakukan sejak malam hari raya Idul Fitri jika telah terlihat hilal,
sampai pagi hari hari menuju lapangan dan sampai keluarnya imam ke tempat shalat. (Fiqhus Sunnah, 1/325)
Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata dalam Al Umm ketika mengomentari ayat di atas:
فَسَمِعْت من أَرْضَى من أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ أَنْ يَقُولَ لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَتُكَبِّرُوا اللَّهُ عِنْدَ إكْمَالِهِ على ما هَدَاكُمْ وَإِكْمَالُهُ مَغِيبُ الشَّمْسِ من آخِرِ يَوْمٍ من أَيَّامِ شَهْرِ رَمَضَانَ
Aku mendengar dari orang-orang yang aku ridhai dari kalangan ulama yang mengerti Al Quran, yang mengatakan “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya”
yaitu bilangan puasa di bulan Ramadhan, dan bertakbir ketika sempurna bilangannya “atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu” sempurnanya itu adalah ketika tenggelamnya matahari pada akhir hari di hari-hari bulan Ramadan.
Baca Juga: Beberapa Adab dan Sunnah Berhari Raya (Bag. 5)
Menampakkan Takbir
Lalu, Imam Asy Syafi’i melanjutkan:
فإذا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ الناس جَمَاعَةً وَفُرَادَى في الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالطُّرُقِ وَالْمَنَازِلِ وَمُسَافِرِينَ وَمُقِيمِينَ في كل حَالٍ وَأَيْنَ كَانُوا وَأَنْ يُظْهِرُوا التَّكْبِيرَ وَلَا يَزَالُونَ يُكَبِّرُونَ حتى يَغْدُوَا إلَى الْمُصَلَّى وَبَعْدَ الْغُدُوِّ حتى يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَدَعُوا التَّكْبِيرَ
Maka, jika sudah terlihat hilal bulan Syawal aku suka bila manusia bertakbir baik secara berjamaah atau sendiri di masjid, pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, para musafir, dan para mukimin pada setiap keadaan, di mana saja
mereka berada hendaknya menampakkan takbirnya, dan terus menerus takbir sampai datangnya pagi hingga menunju lapangan dan setelah itu sampai imam keluar untuk shalat, kemudian mereka sudahi takbir itu.
(Al Umm, 1/231. Darul Ma’rifah) Jadi, bertakbir bukan hanya di masjid tapi juga di rumah, di jalan-jalan, pasar, dan lainnya.
Lalu, jumhur ulama mengatakan, bahwa mulainya adalah sejak pagi hari menuju lapangan hingga khuthbah Id.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وجمهور العلماء على أن التكبير في عيد الفطر من وقت الخروج إلى الصلاة إلى ابتداء الخطبة.وقد روي في ذلك أحاديث ضعيفة وإن كانت الرواية صحت بذلك عن ابن عمر وغيره من الصحابة. قال الحاكم: هذه سنة تداولها أهل الحديث.وبه قال مالك وأحمد وإسحق وأبو ثور.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bertakbir pada Idul Fitri dimulai sejak keluar menuju shalat Id, sampai mulainya khutbah.
Hal itu telah diriwayatkan dalam hadits-hadits dhaif, walau ada yang shahih hal itu dari Ibnu Umar dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi.
Berkata Al Hakim: ini adalah sunnah yang tersebar di kalangan ahli hadits. Dan inilah pendapat Malik, Ahmad, ishaq, dan Abu Tsaur. (Fiqhus Sunnah, 1/325)
Shighat Takbir (Kalimat Takbir) Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah merinci sebagai berikut: a. Bacaan takbir menurut kalangan Hanafiyah dan
Hanabilah Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha Illallah wallahu Akbar Allahu Akbar (dibaca 2 kali), lalu walillahil hamd.
Bacaan ini berdasarkan riwayat dari Jabir, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan juga yang dibaca dua khalifah, dan juga Ibnu Mas’ud.
b. Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah dalam pendapat barunya (Qaul Jadid) (Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar) dan ini adalah yang terbaik menurut Malikiyah,
jika mau menambahkan (Laa Ilaha Ilallah wallahu Akbar Allahu Akbar wa Lillahil Hamd), maka ini bagus, amalan ini berdasarkan riwayat dari Jabir dan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma,
disunnahkan menurut Syafi’iyah setelah membaca takbir yang ketiga: (Allahu Akbar Kabira wal Hamdulillah Katsira wa Subhanallahu Bukrataw wa Ashila), sebagaimana yang Nabi ucapkan di bukti Shafa.
Disunnahkan pula setelah itu dengan menambahkan:
لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه، مخلصين له الدين ، ولو كره الكافرون، لا إله إلا الله وحده، صدق وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده، لا إله إلا الله والله أكبر
Tambahan ini dilakukan jika mau saja menurut Hanafiyah, lalu ditutup dengan membaca:
اللهم صلِّ على محمد وعلى آل محمد، وعلى أصحاب محمد، وعلى أزواج محمد، وسلم تسليماً كثيراً
Demikian. (Lihat semua dalam: Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 2/532) Imam Ath Thabarani meriwayatkan tentang takbirnya Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
أنه كان يكبر صلاة الغداة من يوم عرفة ويقطع صلاة العصر من يوم النحر يكبر إذا صلى العصر قال : وكان يكبر الله أكبرالله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bertakbir pada shalat Shubuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), dan memutuskannya pada shalat ‘Ashar hari nahr (penyembelihan),
Beliau bertakbir jika shalat ‘Ashar: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa Ilaha Illallah wallahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.” (Al Mu’jam Al Kabir No. 9538. Lihat juga Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 5679)
Serupa dengan ini juga dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. (Kanzul ‘Ummal No. 12754) Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir sejak shalat Shubuh pada hari ‘Arafah, hingga hari-hari tasyriq, tidak bertakbir pada Maghribnya.
Kalimat takbir Ibnu Abbas:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
Allahu Akbar Kabira (2X), Allahu Akbar wa Ajall, Allahu Akbar wa lillahil Hamd. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 5692) Mana saja dari kalimat ini yang kita pakai, maka semuanya adalah baik.
Ini adalah masalah yang lapang dan luwes.
– Dianjurkan Mengeraskan Suara Tertulis di dalam Al Mausu’ah:
أَمَّا التَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِيهِ جَهْرًا وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ } قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذَا وَرَدَ فِي عِيدِ الْفِطْرِ بِدَلِيل عَطْفِهِ عَلَى قَوْله تَعَالَى : { وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } وَالْمُرَادُ بِإِكْمَال الْعِدَّةِ بِإِكْمَال صَوْمِ رَمَضَانَ
Adapun pada Idul Fitri jumhur (mayoritas) fuqaha memandang bahwa bertakbir dilakukan dengan suara dikeraskan.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”
Berkata Ibnu Abbas: ayat ini berbicara tentang Idul Fitri karena kaitannya dengan firman-Nya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya,”
maksudnya dengan menyempurnakan jumlahnya, dengan menggenapkan puasa Ramadhan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 13/213)
Adapun kalangan Hanafiyah mereka menganjurkan bertakbir secara di-sirr-kan, pada hari raya Idul Fitri. Berikut ini keterangannya:
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى عَدَمِ الْجَهْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ لأِنَّ الأْصْل فِي الثَّنَاءِ الإْخْفَاءُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل } وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ. وَلأِنَّهُ أَقْرَبُ مِنَ الأْدَبِ وَالْخُشُوعِ ، وَأَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ
Pendapat Abu Hanifah adalah takbir tidak dikeraskan saat Idul Fitri, karena pada asalnya pujian itu mesti disembunyikan, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.”
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sebaik-baiknya dzikir adalah yang tersembunyi.” Karena hal itu lebih dekat dengan adab, khusyu’, dan lebih jauh dari riya’. (Al Mausu’ah, 13/214)
b). Takbir pada Idul Adha Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. (Q.S. Al Baqarah (2): 203)
Maksud “hari-hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari tasyriq, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. (Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar No. 3354)
– Waktunya Bertakbir pada Idul Adha, sudah dimulai sejak pagi hari 9 Dzulhijah hingga akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah) sebelum Maghrib.
Sebenarnya tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, oleh karena itu mereka berbeda dalam kapankah mulainya?
Dan kapan berakhirnya? Adapun sebagian sahabat melakukannya sejak Shubuh hari Arafah hingga ‘Ashar 13 Dzulhijjah, itulah yang dilakukan oleh para sahabat seperti Ali dan Ibnu Mas’ud sebagaimana keterangan sebelumnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menceritakan:
وَلِلْعُلَمَاءِ اِخْتِلَافٌ أَيْضًا فِي اِبْتِدَائِهِ وَانْتِهَائِهِ فَقِيلَ : مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ ، وَقِيلَ مِنْ ظُهْرِهِ ، وَقِيلَ مِنْ عَصْرِهِ ، وَقِيلَ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ النَّحْرِ ، وَقِيلَ مِنْ ظُهْرِهِ . وَقِيلَ فِي الِانْتِهَاءِ إِلَى ظُهْرِ يَوْمِ النَّحْرِ ، وَقِيلَ إِلَى عَصْرِهِ ، وَقِيلَ إِلَى ظُهْرِ ثَانِيهِ ، وَقِيلَ إِلَى صُبْحِ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ، وَقِيلَ إِلَى ظُهْرِهِ ، وَقِيلَ إِلَى عَصْرِهِ . حَكَى هَذِهِ الْأَقْوَالَ كُلَّهَا النَّوَوِيُّ إِلَّا الثَّانِيَ مِنْ الِانْتِهَاءِ . وَقَدْ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَصْحَابِ اِبْنِ مَسْعُودٍ وَلَمْ يَثْبُتْ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثٌ ، وَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيهِ عَنْ الصَّحَابَةِ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ مِنْ صُبْحِ يَوْمِ عَرَفَةَ آخِرِ أَيَّامِ مِنًى أَخْرَجَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Para ulama berbeda pendapat juga tentang mulai dan berakhirnya. Ada yang bilang: sejak Shubuh hari ‘Arafah, ada pula yang bilang sejak Zhuhur, ada yang sejak ‘Ashar,
ada yang bilang sejak Shubuh hari nahr (penyembelihan – 10 Dzulhijah, pen), ada yang bilang sejak Zhuhur hari nahr.
Ada yang mengatakan berakhirnya sampai Zhuhur hari nahr, ada yang bilang sampai ‘Ashar, ada yang bilang sampai Zhuhur hari tasyriq kedua, ada yang bilang sampai Shubuh pada akhir hari tasyriq,
ada yang bilang sampai Zhuhurnya, dan ada yang sampai ‘Asharnya. Semua pendapat ini diceritakan oleh An Nawawi kecuali pendapat berakhirnya takbir sampai Zhuhur hari kedua tasyriq.
Dan, Al Baihaqi telah meriwayatkan dari para sahabat, dari Ibnu Mas’ud. Tidak ada yang pasti sedikit pun hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hal ini,
yang shahih adalah apa yang diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud bahwa mereka melakukannya sejak Shubuh hari Arafah hingga akhir hari-hari di Mina –hari tasyriq. (Fathul Bari, 2/462)
Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan:
ووقته في عيد الاضحى من صحيح يوم عرفة إلى عصر أيام التشريق وهي اليوم الحادي عشر، والثاني عشر، والثالث عشر من ذي الحجة.
Waktu bertakbir bagi Idul Adha yang shahih adalah sejak hari ‘Arafah sampai ‘Ashar hari-hari tasyriq, yaitu 11, 12, 13, dari Dzulhijjah. (Fiqhus Sunnah, 1/325)
Sebenarnya, dalam hadits shahih ada isyarat bahwa mulainya bertakbir bagi Idul Adha adalah sejak hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), yaitu beberapa riwayat berikut:
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita para pemeluk islam, itu adalah hari-hari makan dan minum.
(H.R. At Tirmidzi No. 773, katanya: hasan shahih, Ad Darimi No. 1764, Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya:
“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”) Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (H.R. Muslim no. 1141), dan dalam riwayat Abu Al Malih ada tambahan: “Dan hari berdzikir kepada Allah.” (H.R. Muslim No. 1141)
Maka jika dipadukan semua hadits ini kita simpulkan, hari berdzikir (bertakbir) sudah dimulai sejak hari ‘Arafah hingga hari tasyriq.
Dan, yang dilakukan para sahabat adalah sejak Shubuh hari ‘Arafah hingga ‘Ashar 13 Dzulhijjah. Pada hari-hari tersebut (9, 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah) kita bisa melakukan takbir kapan pun,
sejak subuh tanggal 9 hingga ashar tanggal 13. Kita bisa melakukannya di masjid, setelah shalat wajib, di pasar, di rumah, dan di mana pun tempat yang layak untuk berdzikir.
Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah rahmatan waasi’ah berkata:
والتكبير في أيام التشريق لا يختص استحبابه بوقت دون وقت، بل هو مستحب في كل وقت من تلك الايام. قال البخاري: وكان عمر رضي الله عنه يكبر في قبته بمنى فيسمعه أهل المسجد فيكبرون ويكبر أهل السوق حتى يرتج منى تكبيرا. وكان ابن عمر
يكبر بمنى تلك الايام وخلف الصلوات وعلى فراشه وفي فسطاطه ومجلسه وممشاه تلك الايام جميعا، وكانت ميمونة تكبر يوم النحر، وكان النساء يكبرن خلف أبان بن عثمان وعمر بن عبد العزيز ليالي التشريق مع الرجال في المسجد
Bertakbir pada hari-hari tasyriq tidak dikhususkan kesunnahannya itu pada satu waktu tidak pada waktu lainnya, tetapi disunnahkan pada tiap kesempatan di hari-hari itu.
Imam Al Bukhari berkata: “Umar Radhiallahu ‘Anhu bertakbir di kubah di kota Mina, hal itu didengar oleh orang di masjid maka mereka ikut bertakbir, dan bertakbir pula orang yang ada di pasar,
sehingga kota Mina riuh dengan takbir. Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu, baik setelah shalat, di atas tempat tidur, ketika duduk, atau ketika berjalan, pada hari itu semuanya.
Maimunah bertakbir pada hari nahr (10 Dzulhijah), kaum wanita bertakbir bersama kaum laki-laki di masjid pada malam-malam tasyriq, di belakang Abban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. (Fiqhus Sunnah, 1/326)
Namun, sebagian ulama ada yang merinci waktunya dan tata caranya. Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menceritakan sedikit perbedaan waktu-waktu takbir tersebut, sebagai berikut:
وَقَدْ اِشْتَمَلَتْ هَذِهِ الْآثَارُ عَلَى وُجُودِ التَّكْبِيرِ فِي تِلْكَ الْأَيَّامِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْوَالِ . وَفِيهِ اِخْتِلَافٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي مَوَاضِعَ : فَمِنْهُمْ مَنْ قَصَرَ التَّكْبِيرَ عَلَى أَعْقَابِ الصَّلَوَاتِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ خَصَّ ذَلِكَ بِالْمَكْتُوبَاتِ دُونَ النَّوَافِلِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ خَصَّهُ
بِالرِّجَالِ دُونَ النِّسَاءِ ، وَبِالْجَمَاعَةِ دُونَ الْمُنْفَرِدِ ، وَبِالْمُؤَدَّاةِ دُونَ الْمَقْضِيَّةِ ، وَبِالْمُقِيمِ دُونَ الْمُسَافِرِ ، وَبِسَاكِنِ الْمِصْرِ دُونَ الْقَرْيَةِ . وَظَاهِرُ اِخْتِيَارِ الْبُخَارِيِّ شُمُولُ ذَلِكَ لِلْجَمِيعِ ، وَالْآثَارُ الَّتِي ذَكَرَهَا تُسَاعِدُهُ
Semua atsar ini memuat bahwa adanya takbir itu adalah dilakukan pada hari-hari itu, setelah shalat, dan dilakukan pula pada berbagai keadaan lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam berbagai hal: di antara mereka ada yang mempersempit bahwa takbir itu hanya setelah shalat, ada pula yang mengkhususkan lagi hanya pada shalat wajib bukan sunnah,
ada yang mengkhususkan itu hanya buat laki-laki bukan wanita, pada shalat berjamaah bukan shalat sendiri, pada shalat yang dilakukan pada waktunya bukan shalat qadha,
bagi orang yang mukim bukan musafir, dan pada kota-kota besar bukan pedesaan. Pendapat yang benar, yang dipilih oleh Imam Al Bukhari adalah bertakbir bisa dilakukan pada semua waktu dan keadaan tersebut,
dan atsar-atsar yang telah disebutkan mendukung pendapatnya itu. (Fathul Bari, 2/462)
Apa yang dipilih oleh Imam Al Bukhari nampaknya lebih baik, karena tidak ada petunjuk yang mengkhususkannya, apalagi petunjuk dari para sahabat menunjukkan bahwa bertakbir
bisa dilakukan kapan saja, pada hari-hari tersebut. Wallahu A’lam.
– Dianjurkan dikeraskan Dalam hal ini, tidak ada beda pendapat para fuqaha, bahwa sunnahnya mengeraskan takbir Idul Adha.
Berbeda dengan Idul fitri yang masih terjadi perselisihan. Tertulis dalam Al Mausu’ah:
لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي جَوَازِ التَّكْبِيرِ جَهْرًا فِي طَرِيقِ الْمُصَلَّى فِي عِيدِ الأْضْحَى
Tidak ada perbedaan pendapat di antara fuqaha tentang kebolehan bertakbir dengan dikeraskan di jalan menuju lapangan saat Idul Adha. (Al Mausu’ah, 13/213)
Tentang bentuk kalimat takbirnya, sama dengan takbir pada Idul Fitri. Selesai. Wallahu A’lam Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.