ChanelMuslim.com- Ada satu malam mulia di bulan Ramadan. Nilai ibadah di malam itu lebih baik dari seribu bulan.
Malam Lailatul Qadar. Itulah nama malam mulia itu. Nilai dari malam itu lebih baik dari seribu bulan. Setara dengan 83,3 tahun.
Siapa yang beribadah di malam itu, ia seolah beribadah selama 83 tahun. Sebuah penawaran bonus yang luar biasa. Padahal, usia rata-rata umat manusia saat ini tidak sampai di angka itu.
Itu sama artinya jika ia beribadah di malam mulia itu, nilainya sama dengan ia beribah di sepanjang hidupnya. Sebuah penawaran yang diucapkan dalam bahasa iman. Dan hanya yang beriman yang tertarik dengan penawaran itu.
Ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhum menerima kabar ini, antusiasme mereka full seratus persen. Mereka berjaga-jaga di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Persis seperti yang diteladani panutan mereka, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Meskipun Nabi membesarkan probabilitas peluang dengan menyebut malam ganjil, mereka tak membatasi “perburuan” hanya di malam ganjil. Mereka full di sepuluh malam terakhir, seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama keluarganya.
Padahal, amal mereka sudah seabreg-abreg. Sudah sangat banyak. Dan semua amal mereka memiliki nilai istimewa. Seperti ibadah tarawih mereka yang baru selesai di waktu sahur. Khataman Qur’an mereka yang bisa tuntas hanya dalam waktu tiga hari, bahkan lebih cepat dari itu.
Mungkin hati kecil kita bertanya-tanya. Para sahabat itu punya keluarga apa nggak? Apa mereka tidak kehilangan peluang bisnis dari sepuluh hari yang mereka habiskan itu. Apa mereka nggak menyiapkan diri dan keluarga untuk merayakan Idul Fitri. Seperti, belanja baju baru, aneka kue, dan penganan Idul Fitri.
Sejumlah pertanyaan itu boleh jadi menampakkan rentang kesenjangan antara kita dengan mereka. Kesenjangan iman. Kesenjangan ilmu. Kesenjangan takwa. Dan kesenjangan keshalehan.
Satu hal lagi yang menarik yang kian menampakkan kesenjangan antara kita dengan mereka. Meski mereka sudah full di sepuluh malam itu, mereka tetap gelisah. Dan kegelisahan itu mereka ungkapkan lewat munajat dengan iringan air mata. Jangan-jangan, ibadah mereka tidak diterima oleh Allah.
Mereka pun menangis karena hal lain. Jangan-jangan, itulah Ramadan terakhir buat mereka. Karena tak seorang pun bisa menjamin bahwa ia akan berjumpa dengan Ramadan berikutnya. Lalu kalau tidak ada jaminan bisa berjumpa, bagaimana bisa mengulang lagi raihan malam mulia itu.
Semua kegelisahan itu mereka tumpahkan di malam terakhir Ramadan. Mereka bermunajat dengan sungguh-sungguh agar ibadah mereka diterima Allah. Dan, diberikan kesempatan lagi untuk mengulang dan mengejar amal yang lebih istimewa lagi.
Pertanyaan lain dari kita, apa mereka tak bahagia dengan datangnya Idul Fitri. Kenapa di malam yang sepantasnya mereka bergembira justru menangis?
Lalu, suara hati kecil kita pun lagi-lagi berseloroh: apa enaknya menemui Hari Raya Idul Fitri dengan tetap masih dalam munajat sedih di masjid-masjid? Betapa sepi dan tidak enaknya suasana Lebaran seperti itu.
Pertanyaan lanjutan itu, lagi-lagi menampakkan kesenjangan iman dan ilmu kita di banding mereka.
Para sahabat sedih ditinggal Ramadan. Sementara kita bahagia Ramadan akan berakhir. Para sahabat memahami bahwa Ramadan peluang mahal. Sementara kita merasakan bahwa Ramadan seperti penjara.
Kita pun menyambut Idul Fitri dengan penuh bahagia dan sukacita. Dan hal itu tipis sekali nilainya dengan sukacita lepasnya beban-beban berat di bulan Ramadan. [Mh]