RAMADAN sebagai sarana muhasabah oleh Ustaz Rikza Maulan, Lc., M.Ag. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak bisa bergerak tapak kaki seorang hamba pada Kiamat di hadapan Allah Subhanahu wa taala, hingga ia ditanya tentang lima perkara; Usianya, untuk apa ia pergunakan, Masa mudanya, ke mana dia habiskan, Hartanya, dari mana ia peroleh, (Hartanya), ke mana ia belanjakan, Apa yang telah diamalkan dari ilmu yang dipelajarinya.” (HR. Tirmidzi)
Baca Juga: Kontroversi 17 Ramadan Sebagai Nuzulul Quran
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ ” (رواه الترمذي)
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab Shifatil Qiyamah War Raqa’iq Wal Wara’ an Rasulillah Shallallahu alahi wa sallam, Bab Ma Ja’a Fi Sya’nil Hisab Wal Qishas, Hadits No 2341.
Hikmah Hadits
Ramadan sebagai sarana muhasabah (mengevaluasi diri) merupakan kebutuhan bagi setiap muslim yang mengharapkan keridhaan Allah Subhanahu wa taala.
Karena dengan muhasabah, seorang muslim akan dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, yang kemudian dapat mengantarkannya pada tingkatan yang lebih baik dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam riwayat lainnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengategorikan muhasabah sebagai ciri orang yang cerdas (sukses):
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ، (رواه الترمذي)
Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
“Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Subhanahu wa taala.” (HR. Imam Tirmudzi)
Baca Juga: Samudra Karunia Allah di Bulan Ramadan
Ramadan sebagai Sarana Muhasabah Diri
Ramadan dengan segala keutamaan dan kelebihannya, merupakan bulan yang paling tepat untuk melakukan muhasabah diri.
Karena di bulan Ramadan, ruhiyah (baca: keimanan) seorang muslim sedang berada pada puncak-puncaknya. Di bulan ini, setiap muslim umumnya banyak melakukan amal saleh, minimal dengan melakukan puasa,
ditambah dengan qiyam ramadan (shalat tarawih), membaca Al-Qur’an, berinfak, dsb.
Dan amalan-amalan ibadah tersebut, akan meningkatkan kondisi ruhiyahnya.
Sedangkan orang yang dalam kondisi ruhiyah yang prima, umumnya akan lebih objektif memberikan penilaian khususnya penilaian terhadap dirinya sendiri.
Oleh karena itulah, sangat tepat jika bulan Ramadan dijadikan sarana untuk bermuhasabah, atau untuk mengevaluasi dan mengintrospeksi diri, agar ke depan kita bisa menapaki jalan mengharap ridha Allah Subhanahu wa taala dengan lebih baik lagi.
Allah Subhanahu wa taala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)
Hal-hal yang Perlu Direnungi
Terdapat beberapa hal yang patut menjadi perhatian setiap muslim, yang perlu dimuhasabahi, sebagaimana digambarkan dalam hadits di atas, yaitu:
a. Usia, diungkapkan dalam hadits di atas dengan ungkapan “usianya untuk apa ia pergunakan?”
Usia yang dipergunakan adalah mencakup seluruh waktu atau sebagian besar waktu yang kita pergunakan dalam hidup kita. Ada orang yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti banyak ngobrol, banyak menonton TV, HP, main games, dan sebagainya.
Kelak semua aktivitas dan kegiatan kita akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa taala. Dan betapa meruginya kita apabila sebagian besar waktu dalam hidup kita, dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Sebaliknya, betapa bahagianya kita, apabila sebagian besar waktu dalam kehidupan kita dipergunakan untuk ibadah, amal saleh, membantu dan menolong orang lain, serta hal-hal yang mendatangkan manfaat lainnya.
b. Masa muda, atau yang disebutkan dalam bahasa hadits di atas dengan ungkapan “masa mudanya, ke mana ia habiskan?”
Masa muda secara spesifik disebutkan dalam hadits di atas karena masa muda adalah masa yang “melenakan”, karena merupakan waktu yang sangat menyenangkan bagi setiap orang.
Dari sisi kesehatan, masa muda merupakan masa sedang sehat-sehatnya. Dari sisi kekuatan, masa mudah merupakan masa yang paling “kuat” dalam kehidupan setiap insan, dan sebagainya.
Maka banyak orang yang kemudian terlena dengan indahnya masa muda tersebut, hingga dipergunakan untuk hal-hal negatif dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa taala.
Oleh karenanya “masa muda”, menjadi perhatian dalam banyak hadits, bahwa pemuda yang menjaga keimanannya akan mendapatkan naungan Allah Subhanahu wa taala pada hari kiamat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ َرَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ … (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah Subhanahu wa taala di hari tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu seorang pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa taala….” (H.R. Bukhari)
c. Sumber pendapatan rezeki, atau yang disebut dalam hadits di atas dengan ungkapan “dan hartanya dari mana ia peroleh?”
Karena setiap harta yang tidak halal, yang diraih dengan cara-cara yang kotor kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah Subhanahu wa taala.
Ramadan sebagai Sarana Muhasabah dalam Harta
Allah akan menanyakan kepada kita semua, dari mana harta tersebut? Salafuna Saleh menjadi teladan dalam masalah rezeki ini, di antaranya adalah kisah berikut:
“Suatu hari, Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu pulang ke rumah dengan membawa uang 100.000,- dirham (1 dirham = + Rp 30.000,-) (30.000 X 100.000 = 3.000.000.000,-/ Rp 3 M).
Anehnya, istrinya mendapati raut wajah Thalhah begitu bersedih. Istrinya bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu wahai suamiku?’
Thalhah menjawab, ‘Harta yang banyak ini, aku takut jika menghadap Allah kelak, lalu aku ditanya tentang dirham ini satu persatu.’ Istrinya berkata, ‘Ini masalah yang mudah.
Mari kita bagi-bagikan harta ini. Bawalah uang ini dan bagikan kepada fakir miskin kota Madinah.’
Thalhah pun bersama istrinya meletakkan harta itu di sebuah wadah, lalu mereka membagi-bagikan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan.
Setelah itu, mereka kembali ke rumah dan berkata, ‘Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diriku bertemu dengan-Nya sedangkan aku dalam keadaan bersih dan suci.”
d. Pengeluaran, selain dari mana sumber harta yang kita peroleh, kelak kita juga akan dimintai pertanggungjawaban Allah Subhanahu wa taala, ke mana saja kita memberlanjakan harta kita?
Karena bisa jadi, sumbernya halal namun kita membelanjakannya kurang berhati-hati sehingga barang-barang yang mengandung unsur yang haram terbeli juga oleh kita,
seperti cake yang mengandung rum, makanan dan minuman yang belum jelas halal dan haramnya (tidak berlabel halal), investasi di tempat-tempat ribawi, belanja dengan kartu kredit (konvensional), atau juga pemborosan dalam pengeluaran uang, dan sebagainya.
Hendaknya kita membelanjakan harta kita secara baik, tidak terlalu berlebihan namun juga tidak terlalu bakhil. Allah Subhanahu wa taala berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. Al-Furqan: 67)
Ramadan sebagai Sarana Mengamalkan Ilmu
e. Mengamalkan ilmu yang sudah dipelajarinya. Karena ilmu merupakan “aset” yang juga kelak akan dimintai pertanggun jawaban dari Alah Subhanahu wa taala.
Minimal sekali berkenaan dengan apakah ia mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya, dan apakah ia juga mengajarkan ilmunya kepada orang yang membutuhkannya?
Tidak mengamalkan ilmu dan atau menyembunyikan ilmu, keduanya merupakan perbuatan dosa. Tidak mengamalkan ilmu bisa berbentuk melakukan perbuatan haram, sementara ia mengetahui bahwa itu merupakan perbautan haram.
Mungkin akan “beda” dosanya orang yang berilmu melakukan perbuatan haram, dengan orang yang melakukannya sedang ia tidak mengetahui bahwa itu perbuatan haram.
Maka, hendaklah kita berupaya semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan kita.
Raih Sukses dengan Evaluasi Diri
Apabila kita ingin sukses meraih kemuliaan dunia dan akhirat di bulan Ramadan, maka hendaknya kita melakukan muhasabah atau evaluasi diri di bulan Ramadan ini.
Mengevaluasi diri, khususnya dari kelemahan dan kekurangan-kekurangan diri kita, dari aib-aib dan sifat-sifat jelek kita, untuk kemudian kita mulai lembaran baru dan kehidupan baru dengan perbaikan diri yang lebih baik.
Bukankah di sana keridhaan Allah Subhanahu wa taala menanti kita? Berbahagialah orang-orang yang berusaha untuk meraih keridhaan Allah Subhanahu wa taala:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’: 134)
Wallahu a’lam bish shawab.[ind]