ChanelMuslim.com- Cobalah cerminkan musibah yang kita alami dengan apa yang juga dialami orang lain. Boleh jadi, kita akan mendapati sebuah bayangan cermin yang menakjubkan. Kesedihan dan kesusahan yang kita rasakan ternyata belum seberapa dibanding yang orang lain juga rasakan.
Sepasang suami istri usia lima puluhan baru saja menderita sakit. Kemungkinan besar Covid-19. Badannya panas. Tapi yang ia rasakan justru menggigil. Kepala pusing luar biasa. Perut mual seperti berada di atas kapal kecil yang terombang ambing gelombang laut. Sesekali batuk. Tapi syukurnya tidak sesak.
Di sebuah kamar sederhana itu, sepasang suami istri itu tergolek di atas tempat tidur. Tak ada makanan yang terasa normal. Yang manis terasa hambar. Dan yang hambar menjadi terasa pahit.
Kalau yang hambar saja menjadi pahit, bagaimana yang rasanya pahit seperti aneka obat yang harus ia minum setiap hari?
Antisipasi penularan, anak-anaknya pun “jaga jarak”. Di rumah itu menjadi full masker: setiap saat, setiap momen. Kamar mandi dikhususkan untuk dua pasien ini. Tentunya yang lebih dekat dengan kamarnya.
Tapi meski begitu, hubungan hangat anak-anak dan orang tua harus terus bergulir. Secara bergantian, mereka berlatih melayani ayah ibunya itu.
Dalam suasana hidup yang tidak biasa itu, jam dan hari menjadi seperti tak lagi punya arti. Karena semua suasana terasa sama. Kecuali untuk satu hal: penanda waktu shalat.
Kadang, terbayang di benak keduanya tentang teman-temen mereka yang pernah sakit yang sama. Dari sekian yang diingat, sebagian besarnya berujung pada kematian. Tidak sampai dua pekan.
Jangan bayangkan karena sakitnya berdua bisa saling introspeksi. Bisa saling ngasih nasihat dan semangat. Jangankan itu, bisa tidur nyaman saja sudah sangat bagus. Menghadap kanan, badan terasa sakit. Menghadap kiri, apalagi. Sementara ketika tidak menghadap kemana-mana, kepala seperti berputar-putar tak tentu arah.
Ah, keduanya seperti merasa paling tersiksa. Sepekan berlalu tanpa tanda perbaikan. Begitu pun ketika hari sudah memasuki yang kesepuluh. “Ya Allah, inikah rasanya covid itu?” ungkapnya dalam kegalauan antara optimis dan pasrah.
Batin suami istri itu pun terus berkelana. Ya Allah, inikah saat-saat terakhir hidup yang telah Kau anugerahkan itu. Adakah malaikat kematian sudah mondar-mandir di rumah ini? Lantunan zikir dan istigfar terus membasahi lisan keduanya.
Dua pekan pun berlalu. Suami istri itu ternyata masih hidup. Keduanya sudah mulai baikan. Makanan sudah mulai bisa masuk lebih banyak. Mungkin juga karena anak-anak mereka begitu sabar mengingatkan keduanya untuk terus minum obat.
Anak-anaknya pun mendapati kedua orang tuanya sudah mulai bisa tersenyum. Dalam sebuah obrolan kecil di kamar itu, anaknya menceritakan kalau orang tua temannya pun mengalami hal yang sama. Tanggal kejadiannya pun hampir sama. Dan, kota domisilinya juga sama.
Cuma bedanya, kalau di rumah itu hanya dua yang sakit, sementara di rumah temannya yang sakit mencapai 11 orang, termasuk seorang bayi usia 10 bulan. Yang sakitnya parah ada dua orang karena harus menggunakan ventilator atau alat bantu pernafasan. Satu keluarga itu sudah dievakuasi di sebuah wisma penampungan di Jakarta untuk menjalani perawatan.
Suami istri ini tertegun mendengar cerita anaknya itu. Apa yang ia alami, ternyata tak seberapa dari yang dialami keluarga teman anaknya itu.
“Ya Allah, pahit getir yang kami rasakan, ternyata tidak sampai separuh dari yang dirasakan tetangga kami itu. Alhamdulillah!” (Mh)