SANG pakar tafsir al-Quran itu bernama Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib Al-Qurasyi Al-Hasyimi, biasa dipanggil Abu Abbas dan digelari Habr Al-Ummah (ulama umat) dan Turjuman Al-Qur’an (pakar tafsir Al-Qur’an).
Ia lahir di Asy-Sya’ab tahun 3 sebelum hijrah bertepatan dengan pengepungan orang-orang kafir Quraisy terhadap kaum muslimin.
Abdullah bin Abbas berwajah tampan, tutur katanya fasih, dan warna kulitnya putih. Ia adalah putra paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib.
Ia tergolong seorang ulama, pakar tafsir Al-Qur’an, dan berwawasan luas. Ia adalah sahabat Nabi yang paling banyak memberi fatwa hukum dan paling sering melakukan ijtihad untuk menyimpulkan hukum.
Baca Juga: Ummu Fadhl, Ibu Seorang Ahli Tafsir Terkemuka
Abdullah bin Abbas Sang Pakar Tafsir Al-Quran
Abdullah adalah salah satu di antara empat serangkai yang dijuluki Al-‘Abadalah (4 orang yang bernama Abdullah).
Mereka adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdulallah bin Zubair, dan Abdullah bin Amr.
Diantara para sahabat yang meriwayatkan hadis, ia termasuk yang paling banyak.
Jika diurutkan diantara sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, urutannya adalah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar, Jabir, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, dan Aisyah.
Rasulullah pernah mendo’akannya dan berkata, “Ya Allah, anugerahilah ia pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama dan ajarilah ia ilmu takwil (tafsir Al-Qur’an).
Pada kesempatan lain, Beliau mendo’akannya dan berkata,”Ya Allah, ajarilah ia ilmu hikmah.”
Suatu hari, Rasulullah membonceng Ibnu Abbas, lalu beliau mengatakan,
“Wahai anakku, perihalalah (ketetapan-ketetapan) Allah, niscaya Dia memeliharamu. Periharalah (ketetapan-ketetapan) Allah, niscaya Dia kamu akan mendapati-Nya selalu dihadapanmu.
Apabila kamu bermohon, maka mohonlah kepada Allah. Apabila kamu memintaa bantun, maka mintalah bantuan kepada Allah.
Ketahuilah bahwa seandainya seluruh umat berhimpun untuk memberi sesuatu manfaat kepadamu, mereka tidak mampu memberimu kecuali sesuatu yang telah di tetapkan Allah untukmu.
Dan apabila mereka berhimpun untuk menjatuhkan mudarat kepadamu, mereka tidak mampu menjatuhkannya kepadamu, kecuali sesuatu yang telah ditetapkan Allah atasmu.
Pena-pena telah kering dan lembaran-lembaran telah ditutup.”
Pada saat Rasulullah meninggal, Abdullah bin Abbas masih berusia 13 tahun.
Umar bin Al-Khathab sering kali meminta pendapat Abdullah bin Abbas dan mengajaknya untuk bermusyawarah untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah yang problematik.
Saat musyawarah berlangsung, Umar mempersandingakannya dengan para pembesar sahabat. Biasanya, Umar memilih pendapat Ibnu Abbas dan mengesampingkan pendapat para sahabat lainnya.
Suatu hari, Umar mempersandingkan Ibnu Abbas dengan beberapa tokoh sahabat. Saat itu, para tokoh sahabat meremehkan Ibnu Abbas.
Lalu Umar menanyakan kepada mereka tentang penafsiran surat An-Nashr. Para tokoh sahabat menjawab dengan penafsiran yang panjang lebar.
Kemudian Ibnu Abbas angkat bicara dan menafsirkannya secara singakat, “Surat An-Nasr adalah surat yang mengabarkan tentang (dekatnya waktu) kematian Rasulullah.” Umar membenarkan penafsiran Ibnu Abbas.
Tercatat banyak penuntut ilmu yang datang dari segala penjuru untuk menimba ilmu kepada Ibnu Abbas.
Tentang dirinya, ia mengatakan, “Aku pernah melihat Jibril dua kali dan Rasulullah dua kali berdo’a agar aku dianugerahi ilmu hikmah.”
Suatu hari, ia ditanya, “Dari mana Anda memperoleh ilmu ini?” Ia menjawab, “Lisan yang gemar bertanya dan hati yang gemar memahami.”
Tentang Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud berkata, “Sebaik-baik penafsir Al-Qur’an ialah Ibnu Abbas.”
Amr bin Dinar pernah berkata, “Aku belum pernah melihat sebuah majlis ilmu yang menghimpun segala macam kebaikan selain majlis ilmu Ibnu Abbas.
Di dalam majlis ilmunya diajarkan ilmu tentang halah-haram, ilmu fiqih, ilmu bahasa arab, ilmu geneologi, dan ilmu sya’ir.”
Suatu ketika, Zaid bin Tsabit bertemu di tengah jalan dengan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menuntun kendaraan Zaid.
“Tidak pantas kamu melakukan semacam itu, wahai putra paman Rasulullah,” kata Zaid.
“Beginilah kami disuruh bersikap terhadap para ulama kami”, kata Ibnu Abbas.
Zaid lalu turun dari kendaraannya dan langsung menicum tangan Ibnu Abbas sambil berkata, “Beginilah kami disuruh bersikap terhadap keluarga Nabi kami (ahl al-bait).”
Ubaydillah bin Utbah berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih mengerti terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah, dan yang lebih mengerti terhadap ketetapan-ketetapan yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman, selain dari Ibnu Abbas.
Aku belum pernah melihat orang yang lebih paham secara mendalam terhadap suatu pendapat, lebih mengerti tentang sya’ir, bahasa arab, tafsir, ilmu hisab, dan ilmu waris, selain Ibnu Abbas.
Aku juga berdebat selain dari Ibnu Abbas. Secara berselang, ia mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, sya’ir, dan sejarah peperangan Arab.”
Thawus berkata, “Aku pernah menyaksikan 70 sahabat terhadap suatu masalah yang problematik, lalu mereka semua menyetujui yang dikemukakakn Ibnu Abbas.”
Suatu hari, dihadapan Ibnu Abbas dibacakan satu kasidah sya’ir yang terdiri dari 80 bait. Ia langsung hafal satu kaidah tersebut, padahal baru satu kali didengarnya.
Ketika khalifah Utsman bin Affan dikepung para pemberontak, ia sedang berangkat haji bersama beberapa orang jamaah haji.
Saat itu, ia membaca surat Al-Baqarah sambil menafsirkannya. Salah seorang jamaah, Syaqiq, berkata, “Aku belum pernah melihat dan mendengar penafsiran seorang pakar tafsir yang sepandai dia.
Seandainya penafsirannya ini di dengar oleh orang-orang Persia dan Romawi, niscaya mereka akan masuk Islam.”
Ia bergabung bersama Ali bin Abi Thalib dalam perang Al-Jamal dan perang Shiffin melawan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ali bin Abi Thalib pernah mengangkatnya menjadi gubernur Bashrah. Kemudian ia meninggalkan Bashrah dan kembali ke Hijaz sebelum Ali bin Abi Thalib terbunuh.
Ia menolak ikut campur saat terjadi perseteruan antara Abdullah bin Zubaiar dengan pemerintah Dinasti Umawiyah.
Ia mengalami kebutaan di masa tuanya, lalu ia melantunkan syair:
Meski Tuhan mengambil cahaya penglihatan dari kedua mataku, tapi di lisan dan hatiku terdapat cahaya sebagai penggantinya.
Hatiku cerdas, akalku jernih, lisanku tajam bak pedang yang terhunus.
Sepulang dari Bashrah, ia memilih tinggal di Thaif sambil mengajarkan ilmu hingga akhir hayatnya.
Terdapat sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas. Kitab tafsir tersebut dikompilasi oleh beberapa pakar tafsir terkemuka.
Tercatat 1660 hadis yang diriwayatkan dari Nabi. Di antaranya, Nabi bersabda, “Terdapat dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)
Ia meninggal di Thaif tahun 68 H. Jenazahnya disembahyangi oleh Muhammad bin Al-Hanafiyah.
Pada saat pemakaman jenazahnya, Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, “Telah berpulang ulama umat ini untuk selama-lamanya.”
Sumber: Tokoh-Tokoh Islam, Pustaka Alkautsar
[Ai/Ln]