KEBIASAAN orang tua dulu mengganti nama ketika anak sakit-sakitan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama yang jelak dengan nama yang bagus.
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata,
“Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa mengganti nama yang jelek.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam Tuhfatu Al-Ahwadzi, Syaikh Al-Mubarakfaturi mengatakan bahwa yang dimaskudkan dengan “mengganti nama yang jelek,” yaitu mengubahnya dengan nama yang bagus.
Baca Juga: Momen Haru Clara Shinta Dapatkan Nama Islami dari Ustaz Adi Hidayat
Mengganti Nama yang Jelek dengan Nama yang Bagus
Demikianlah kebiasaan Rasulullah, apabila beliau menjumpai orang yang namanya jelek atau nama yang mempunyai makna tidak baik, beliau ganti nama orang tersebut dengan nama lain yang bagus.
Sebab, pada Hari Kiamat nanti kita semua akan dipanggil dengan nama kita dan nama orang tua kita. Itulah makanya, kita mesti mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama lain yang bagus dan mempunyai makna yang baik. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan dipanggil nanti pada Hari Kiamat dengan nama-nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka, perbaguslah nama-nama kalian.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Ad-Darimi)
Said bin Al-Musayyib menceritakan, bahwa kakeknya yang bernama Hazan pernah datang menemui Nabi. Lalu Nabi bertanya kepanya, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Nama saya Hazan.” Nabi berkata, “Tidak, namamu adalah Sahal.” Dia berkata, “Saya tidak akan mengganti nama yang telah diberikan oleh ayahku.”
Said bin Al-Musayyib meneruskan, “Setelah itu, dia selalu kelihatan seperti orang yang sedih di tengah-tengah kami.”
Dalam hadits di atas, ada beberapa poin yang bisa diambil hikmahnya. Pertama; bahwa mengganti nama yang telah diberikan oleh bapak atau orangtua bukanlah suatu hal yang tabu atau suatu sikap yang dianggap tidak menghormati orangtua.
Jika memang nama tersebut tidak bagus atau mempunyai arti yang tidak baik entah dikarenakan ketidak-tahuan orangtua atau sebab yang lain, maka tidak mengapa mengganti nama tersebut dengan nama yang lebih baik. Bahkan, demikianlah yang dicontohkan oleh panutan kita.
Kedua, nama juga bisa bermakna sebagai doa atau harapan. Apa bila seseorang mempunyai nama yang bagus atau orangtua memberikan nama yang baik kepada anaknya, maka hal itu juga bisa bermakna sebagai doa atau harapan.
Termasuk juga apabila orangtua memberikan nama bagi anaknya dengan nama-nama yang sahabat atau orang saleh, tentu dia berkeinginan agar anaknya dapat menjadi atau mendekati seperti nama yang disandangnya.
Sebaliknya, jika seseorang memiliki nama yang jelek atau ada orangtua yang memberikan nama tidak bagus kepada anaknya maka hal ini juga menjadi sesuai kenyataan, sebagaimana nama yang disandang. Kasus yang terjadi pada kakek Said bin Al-Musayyib hanyalah satu contoh di antaranya.
Ketiga, tidak diperbolehkannya bagi kita untuk mengabaikan apa yang telah dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Sebab, apa yang telah ditetapkan beliau bagi kita, maka itulah yang terbaik. Ketika Hazan menolak mengganti namanya dengan Sahal, maka dia pun merasakan akibat bantahannya terhadap Nabi. Dia menjadi orang yang selalu tampak sedih, atau dia selalu saja dirundung kesedihan.
Hal seperti ini juga pernah terjadi pada seorang Arab Badui ketika dia sakit dan dijenguk oleh Nabi. Waktu itu, sebagaimana biasa, beliau mengatakan dan mendoakan bahwa sakitnya tidak berat dan akan segera sembuh.
Tetapi, orang Badui itu malah mengatakan bahwa ia sakit keras, badannya sangat panas, dan penyakitnya itu dapat mengantarkan dirinya yang sudah tua ke liang kubur. Maka, tidak lama setelah itu, orang Badui itu pun meninggal.
Diriwayatkan juga, bahwa Juwairiyah Radhiyallahu Anha salah satu seorang istri Nabi, dulunya bernama Barrah, kemudian diganti oleh beliau menjadi Juwairiyah. Nabi kurang suka jika dikatakan; bahwa beliau baru keluar dari rumah Barrah.
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma menceritakan, bahwa salah seorang anak perempuan Umar ada yang bernama Ashiyah. Lalu nama tersebut diganti oleh Nabi menjadi Jamilah.
Imam Malik meriwayatkan, bahwa Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu bertanya kepada seseorang, “Siapa namamu?” dia menjawab, “Jamrah.” Umar bertanya lagi, “Anak siapa?” Dia berkata, “Anak (bin) Syihab.
Umar bertanya lagi, “Dari mana?” Dia berkata, “Dari Huraqah.” Umar masih bertanya, “kamu tinggal di mana?” Dia berkata, “Di Harrat Nar.”
Tanya Umar lagi, “Tepatnya di mana?” Dia berkata, “Di Dzat Lahza.” Umar lalu berkata, “Kamu segeralah pulang. Lihatlah rumah dan keluargamu. Sesungguhnya mereka telah kebakaran!”
Maka ketika dia sampai di rumahnya, ternyata rumahnya memang benar-benar telah terbakar, seperti yang dikatakan Umar.
Imam Abu Dawud berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengganti nama Al-Ash, Aziz, Atalah, Syaithan, Al-Hakam, Ghurab, Hubab, dan Syihab, menjadi Hisyam.
Beliau juga pernah mengganti nama Harb menjadi Salam, Al-Mudhthaji’ menjadi Al-Munba’its, Afirah menjadi Khadhirah, Suku Adh-Dhalalah menjadi Suku Al-Huda, Bani Az-Zaniyah menjadi Bani Ar-Risydah, dan Bani Mughwiyah menjadi Bani Risydah.”
Selanjutnya Abu Dawud berkata, “Saya sengaja meninggalakan sanad-sanadnya supaya lebih ringkas.” []
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)