MELAKUKAN amalan sesuai kemampuan. Rasulullah menyuruh para sahabat untuk melakukan amal sesuai kemampuan. Ummu Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha berkata,
“Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, apabila beliau menyuruh mereka, beliau meyuruh mereka agar melakukan amal-amal sesuai kemampuan mereka.” (HR. Al-Bukhari)
Baca Juga: Peringatan untuk yang Tidak Mengamalkan Ilmu
Melakukan Amalan Sesuai Kemampuan
“Menyuruh mereka,” maksudnya yaitu menyuruh para sahabat. Tetapi, tentu bukan hanya para sahabat –Radhiyallahu Anhum– saja yang dimaksud dengan “amal-amal” disini, yaitu amal ibadah yang sifatnya sunnah, mustahabbab atau mandub, bukan yang hukumnya wajib.
Sebab, jika amal perbuatan itu hukumnya wajib, seperti shalat lima waktu atau puasa Ramadhan, misalnya, maka bagaimanapun juga setiap muslim wajib melakukannya.
Adapun jika amal tersebut sifatnya sunnah, apa pun bentuk amalnya, baik itu shalat sunnah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, berdzikir, berinfak, bersedekah, dan lain sebagainya, maka hendaknya dilakukan sebatas kemampuan saja. Jangan ngoyo atau berlebihan dalam melakukannya.
Sebab, bukan tidak mungkin jika kita melakukan suatu amal ibadah di luar batas kemampuan, justru dapat membawa mudharat, seperti sakit, misalnya.
Mengutip perkataan para ulama, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, maksudnya yaitu, bahwa Nabi menyuruh mereka melakukan amal ibadah yang tidak menyusahkan.
Beliau khawatir jika kemudian hari mereka tidak mampu terus memeliharanya. Sebab, Allah menyukai amal ibadah yang dilakukan secara rutin dan terus menerus, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,
“Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dilakukan secara rutin, meskipun sedikit.” (Muttafaq Alaih dari Aisyah)
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan faktor kemanusiaan. Orang bisa jatuh sakit jika terlalu letih melakukan suatu pekerjaan.
Orang bisa bangkrut apabila menafkahkan semua hartanya tanpa sisa. Orang pun bisa berselisih dengan istri dan anak-anaknya, jika dia terlalu memikirkan urusan akhiratnya tetapi sama sekali tidak pernah memikirkan atau berusaha bekerja untuk menghidupi keluarganya.
Bahkan, apabila yang melakukan ibadah secara berlebihan tersebut adalah orang yang bodoh, maka dia justru akan menjadi sasaran empuk bagi setan untuk menggelincirkan dan menyesatkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Syaikh As-Sa’id berkata, “Sesungguhnya Allah tidak benar-benar telah memudahkan syariatnya bagi mereka. Dia tidak membebani mereka dengan amal-amal yang berat, menyulitkan, dan membelenggu, sebagaimana yang pernah Dia bebankan kepada umat sebelum mereka.
Dan, Allah juga tidak memberikan beban yang melebihi batas kemampuan mereka. Hal ini selaras dengan kebiasaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang senang memilih sesuatu yang lebih ringan jika disuruh memilih di Antara dua pilihan, selama tidak dalam pembahasan sebelum ini.
Bahkan, beliau sangat marah ketika sebagian sahabat mengatakan bahwa mereka melakukan hal itu karena mereka merasa bahwa mereka tidak seperti beliau yang telah diampuni segala dosanya yang lampau dan yang akan datang. Dalam lanjutan hadits riwayat Aisyah di atas diceritakan,
“Wahai Rasulullah, ‘kami ini tidak seperti engkau. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mengampuni semua dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.’ Maka, beliau pun sangat marah sehingga kemarahan itu tampak di wajahnya. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan mengetahui tentang Allah adalah aku.”
Banyak contoh dari Nabi dalam masalah ini. Misalnya, ketika Abdullah bin Amru bin Al-Ash ditanya oleh Nabi, “Bagaiamana engkau berpuasa?”
Abdullah berkata, “Setiap hari.”
Nabi: Bagaimana engaku mengkhatamkan Al-Qur’an?
Abdullah: Setiap malam.
Nabi: Berpuasalah tiga hari saja dalam sebulan dan khatamkan Al-Quran dalam sebulan.
Abdullah: Saya sanggup lebih dari itu.
Nabi: Berpuasalah tiga hari dalam seminggu.
Abdullah: Saya sanggup lebih dari itu.
Nabi: Berpuasalah setiap tiga hari sekali.
Abdullah: Saya sanggup lebih dari itu.
Nabi: Berpuasalah seperti puasa Nabi Dawud sehari puasa, sehari berbuka. Itu adalah puasa yang paling baik. Dan, khatamkanlah Al-Qur’an setiap tujuh malam sekali.
Contoh lain, misalnya dalam kasus beberapa orang sahabat yang mendatangi sebagian istri Nabi untuk menanyakan bagaimana amal ibadah di dalam rumah atau yang tidak banyak diketahui oleh orang banyak. Dan, setelah diberitahukan kepada mereka tentang ibadah beliau, mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan tidak ada apa-apanya dibandingkan beliau.
Padahal, beliau telah dimaafkan semua dosanya. Maka, di antara mereka pun ada yang berkata. “Saya tidak akan menikahi perempuan.” Ada juga yang mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Ada yang mengatakan, “Saya tidak akan tidur di atas kasur.” Dan ada pula yang berkata, “Saya akan puasa terus setiap hari.”
Lalu, manakala Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kabar ini, beliau pun bersabda,
“Kenapa ada orang-orang yang mengatakan begini dan begitu? Sesungguhnya aku ini shalat dan tidur. Aku juga puasa dan berbuka. Dan aku pun menikahi sejumlah permepuan. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, berarti dia bukan golonganku.” (HR. Ahmad, Muslim, dan An-Nasa’i)
[Ai/Cms]
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)