Chanelmuslim.com – Namanya Ismail Abu Shabab. Anak usia sebelas tahun yang sangat pemalu ini, baru saja menikmati waktu istirahat sekolahnya. Ia mencoba untuk berbicara beberapa patah kata, tapi tiba-tiba terdiam saat suara pesawat tempur Israel meraung di atas langit Gaza. Dan ketika suara pesawat makin dekat, Ismail menjadi seperti patung.
“Ya, aku sudah siap bicara,” ucapnya setelah beberapa saat kemudian.
Ismail menderita trauma stres tingkat lanjut (PTSD) sebagai dampak dari serangan bom Israel selama perang Gaza pada tahun 2014.
“Kami saat itu sedang di jalan. Tiba-tiba sebuah bom meledak menghancurkan rumah. Saya terluka, sementara saudara saya tewas,” ungkap Ismail. Ia mulai menunjukkan sifat grogi, kemudian panik, dan keringat berlebih.
PTSD bukan hal baru di kalangan anak-anak Gaza. Siapa pun yang lahir di sana sebelum tahun 2008 telah mengalami tiga kali perang besar oleh Israel. Pada tahun 2014, sebuah laporan menunjukkan 92 persen warga Gaza mengalami gangguan kejiwaan. Sampel berusia antara 13 sampai 18 tahun. Kelainan kejiwaan itu berupa symtomps disorder.
Buat Ismail dan anak-anak yang tinggal di kawasan Gaza, bom-bom Israel tidak pernah berhenti, meskipun perang besar 2014 sudah lewat.
Seperti halnya anak-anak seusianya, Ismail suka berenang. Ia menceritakan bahwa kegiatan yang paling disukai adalah bermain di tepian pantai bersama teman-teman. Ismail menunjukkan hasil lukisannya selama menjalani terapi mental. Ia melukis tentang sebuah ketenangan dari bendera Palestina.
Rumah Ismail hanya berjarak 5 kilometer dengan perbatasan Israel. Begitu pun dengan perbatasan Mesir yang jaraknya hanya 2 kilometer. Itulah kenapa Ismail dan anak-anak di sekitar rumahnya selalu menjadi kawasan hujan bom.
Salah seorang psikolog dari sebuah klinik kesehatan mental yang berlokasi tak jauh dari Khan Younis yang menangani penyakit mental Ismail, Osama Frima, menyatakan. “Lebih dari 100 kasus yang dialami anak-anak serupa dengan apa yang dialami Ismail,” jelasnya.
Menurut Osama, trauma yang dialami anak-anak begitu dalam dan terus mengalami peningkatan. Sebabnya adalah suara hujan bom saat perang 2014 lalu di mana bom-bom Israel membombardir perbatasan Mesir dan Gaza yang tak jauh dari rumah Ismail.
Selama Israel tidak menghentikan manuver-manuver militernya ke kawasan Palestina termasuk Gaza, trauma anak-anak seperti ini sulit bisa disembuhkan.
Dalam gagasan Osama, berbagai kegiatan kreatif adalah cara yang paling ampuh untuk merangsang anak-anak mau bicara. “Dan melukis adalah salah satu terapi agar anak-anak memulai keinginannya untuk berkomunikasi. Dari situlah mereka bisa mengungkapkan uneg-unegnya, bagaimana perasaannya, dan lain-lain,” ucapnya.
Biasanya, pada tahap awal, anak-anak akan melukiskan sebuah gambar tentang kematian dan kehancuran. Tapi, lambat laun mereka akan melukis tentang pemandangan yang indah dan gambaran tentang utuhnya sebuah keluarga.
Inilah Gaza, dengan luas 360 kilometer persegi dan penduduk sebanyak 1,8 juta jiwa. Mirisnya, 43 persen penduduknya pengangguran. Menurut Bank Dunia, angka itu adalah yang tertinggi di dunia.
Data dari lembaga bantuan pengungsi oleh PBB, UNRWA, menunjukkan ketergantuangan masyarakat dari bantuan tersebut kian meningkat. Dari sebanyak 80 ribu pada tahun 2000 menjadi 867 ribu hari ini.
“Semua orang di Gaza harus berjuang untuk bisa dapat uang, agar bisa membeli makanan,” ucap Osama. “Ada semacam tekanan dari para orang tua, dan itu mengurangi harapan mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa nyaman tinggal di rumah jika tanpa harapan,” tambah Osama.
Pengalaman trauma tidak hanya dialami warga Gaza, anak-anak di daerah pendudukan Israel di Tepi Barat pun mengalami hal yang sama.
Menurut psikolog dari lembaga bantuan kemanusiaan, Fathy Flefel, sejujurnya, jika kita bicara soal penyakit PTSD, itu membicarakan apa yang mengawali dan apa yang mengakhiri. “Dan warga Palestina mengalami semua itu seperti tanpa akhir, terutama dua tahun terakhir ini,” ucapnya.
Trauma yang dialami anak-anak Palestina kian menyebar dan parah. “Mereka menjadi sulit berkomunikasi dalam sudut pandang yang positif. Ini efek buruk yang besar, yang mempengaruhi kehidupannya di masa depan,” jelas Fathy. (Mh/aljazeera)