ChanelMuslim.com- Budaya buruk masyarakat Arab jahiliyah adalah mencuri dan merampok, hal itu menjadi hal yang biasa di kalangan mereka. Hanya sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya.
Perampok pun bukan hanya mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang dirampok. Perampok biasa menjadikan orang-orang yang telah dirampoknya menjadi tawanan dan budak belian.
Saat masih jahiliyah, perilaku bangsa Arab amat kejam, sampai melewati batas perikemanusiaan. Anak-anak perempuannya sendiri mereka bunuh.
Ada yang dikubur hidup hidup ke dalam tanah, ada pula yang ditaruh dalam tong dan diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai anak perempuan.
Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika seseorang mati, keluarganya mengikat unta di atas kuburan dan tidak memberikan makan serta minum sampai si unta mati. Mereka beranggapan unta itu kelak akan menjadi tunggangan si mati.
Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat kejam. Mereka biasa mengikat musuh pada seekor kuda dan membiarkan kuda tersebut berlari sehingga orang yang diikat itu mati terseret-seret.
Telinga atau hidung musuh yang kalah dijadikan kalung, serta tengkoraknya dijadikan tempat minum arak. Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan santun, mereka biasa berkeliling Ka’bah tanpa memakai pakaian.
Begitulah kebiasaan orang-orang Arab saat itu. Mereka adalah bangsa yang maju perdagangannya, pandai membuat perkakas, membuat obat, ahli astronomi, serta mahir bersyair. Namun mereka juga mempunyai kebiasaan buruk.
Dalam urusan makan dan minum pun tidak ada yang dilarang. Segala macam binatang boleh dimakan. Binatang yang sudah mati pun disayat dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga suka meminum darah, binatang, dan makanan darah yang dibekukan.
Baca Juga : Ketika Hamzah bin Abdul Muthalib Bimbang dengan Agama Barunya
Kisah Abdul Muthalib dan Kebiasaan Masyarakat Arab pada Masa Jahiliyah
Muthalib bin Abdul Manaf adalah salah satu kakek buyut sahabat Rasulullah saw. Namanya dikenal dalam sejarah Islam karena ia adalah orang yang membesarkan kakek Nabi Muhammad saw, Syaibah bin Hasyim yang dikenal dengan Abdul Muthalib.
Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika melewati Yatsrib, (di kemudian hari disebut Madinah), Hasyim melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang.
Hasyim bin Abdul Manaf. Ia adalah pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Masyarakat Mekah mematuhi dan menghormatinya.
“Siapakah wanita itu?” tanya Hasyim kepada orang-orang Yatsrib.
“Dia adalah Salma binti Amr.” “Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda.”jawab orang-orang Yatsrib kepada Hasyim
Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama. Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan perniagaannya.
Namun, itulah kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi. Ia meninggal dunia di Palestina.
Salma melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syaibah. Sementara itu, sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai penduduk Mekkah. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan.
Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja. Akhirnya dia datang ke Yastrib untuk menemui keponakannya.
“Aku harus menemuinya,” pikir Al Muthalib,
“Dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan aku.”
Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia tersentak, “Anak ini benar-benar mirip Hasyim.”
“Mari Nak, ikut Paman ke Mekah,” peluk Al Muthalib.
“Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan tetap tinggal di sini,” jawab Syaibah.
Nama Syaibah diberikan karena ada rambut putih (uban) di kepalanya sejak dia kecil. Selain Syaibah, Hasyim telah memiliki empat putra dan lima putri yang tinggal di Mekkah.
“Tidak. Aku tidak akan membiarkannya pergi” jawab Salma.
“Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnyalah yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya”
Namun pamannya terus mencoba meyakinkan Salma, agar mengizinkan Syaibah untuk tinggal di kota Mekkah untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya.
“Aku juga menyayangi Hasyim,” jawab Al Muthalib, “bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga menyayanginya.
Mereka pasti akan senang sekali menyambut kedatangan putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbul kepadanya.
Baca Juga : Kisah Rasulullah Tersenyum saat Abu Bakar Dicaci
Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku. Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah kerajaan ayahnya dan Mekah adalah tanah suci yang dicintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?”
Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putra satu-satunya itu tetap tinggal di sisinya. Namun, ia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di Mekkah. Akhirnya, ia pun mengangguk.
“Baiklah, kuizinkan ia pergi.”
Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya. Ketika mereka tiba di Mekkah, orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al Muthalib adalah budaknya. Hal ini membuat Syaibah bin Hasyim dikenal dengan julukan Abdul Muthalib atau “budak Muthalib”.
“Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul Muthalib!” panggil mereka kepada Syaibah.
“Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku, Hasyim!”
Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian, Syaibah bin Hasyim lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib, sejak ia dibesarkan oleh pamannya Muthalib bin Abdul Manaf, sehingga akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi Muhammad saw.
Bersambung…
[ind/Walidah]