ChanelMuslim.com- Shalat itu perjumpaan indah. Sebuah perjumpaan paling mewah sejagat raya. Karena yang dijumpai itu bukan sekadar orang paling kaya di muka bumi. Bukan sekadar paling berkuasa. Bukan sekadar paling hebat. Melainkan, Raja dan Penguasa alam raya.
Semua kita bangga punya sahabat orang hebat. Kalau saja ada foto saat kita bersama dia, foto itu akan diperbesar dan dipajang di tempat paling prestisius di rumah kita.
Tidak cukup di rumah, foto berbingkai warna emas itu juga akan dipamerkan di ruang kantor. Juga di rumah makan yang kita miliki. Bahkan, menjadi wallpaper abadi ponsel kita.
Yang diharapkan dari semua itu adalah adanya pengakuan dari siapa pun bahwa diri kita juga orang hebat. Karena bisa begitu dekat dengan orang hebat.
Kita pun mengharapkan orang-orang bisa membayangkan seperti apa bermutunya saat perjumpaan dengan orang hebat. Duduk bersama tanpa jarak. Tanpa pengawasan pihak keamanan pribadi orang itu. Tanpa perlu banyak prosedur yang berliku. Dan tanpa kecurigaan siapa pun kalau perjumpaan itu sebagai momen pengajuan proposal bantuan atau sejenisnya.
Kita juga ingin orang-orang memahami seperti apa mewahnya perjumpaan itu. Saat begitu banyak orang hanya berangan-angan hanya untuk bertemu langsung, kita sudah seperti mencapai kesetaraan saat saling berakrab ria.
Saat banyak orang harus mengikuti protokoler jelimet untuk mengucapkan sesuatu kepada orang itu, kita bisa mengekspresikan canda bebas. Layaknya seperti sahabat sejak kecil. Satu kampung.
Saat semua orang dibatasi waktu kalau bertemu, kita bisa sepuasnya ngobrol. Saling curhat. Saling membuka rahasia pribadi.
Ah, betapa hebatnya aku jika bisa seperti itu. Bisa kapan pun bertemu. Bisa ngobrol apa pun yang kita mau.
Walaupun kita bukan dia. Walaupun kita jauh dari kata sehebat dia, rasanya diri ini sudah seperti berada di puncak kepuasan. Rasanya tidak perlu lagi ingin menjadi dia karena keakraban itu sudah mengangkat tinggi seolah kita setara dia.
Kalau saja kita yang “orang kecil” pernah merasakan bersamanya saat dalam kendaraan istimewa. Di depan pengawal, samping kiri kanan pengawal, belakang pun pengawal. Lampu lalu lintas seolah tak pernah ada di semua rute yang dilalui.
Wow, itu akan menjadi pengalaman luar biasa seumur hidup. Akan menjadi cerita yang tak pernah habis untuk dikisahkan turun temurun ke anak cucu.
Kesempatan untuk perjumpaan berikutnya pun akan menjadi momen yang paling dinanti. Lebih dinanti dari kelahiran bayi kandung sendiri. Lebih dinanti dari tanggal gaji. Lebih dinanti dari kembalinya cinta sejati.
Baca Juga: Menyambung Kasih yang Tak Sampai
Perjumpaan Indah Itu Bernama Shalat
Di perjumpaan itu, kita seperti ingin terbang sesaat ke dunia lain yang tidak biasa. Meneropong landscape wajah kerumunan manusia dari atas langit. Mencermati betapa kecilnya problema hidup semua orang dari tempat itu.
Ya, perjumpaan itu, obrolan akrab itu, mengajak kita terbang tinggi menjauhi tempat hidup kita sehari-hari. Tempat di mana semua yang kita anggap besar ternyata kecil. Tempat di mana yang sebelumnya kita anggap banyak ternyata hanya secuil.
Ah, betapa tingginya nilai perjumpaan itu. Betapa luas ruang-ruang yang terlihat dalam perjumpaan itu. Sedemikian luasnya seolah kita tidak lagi merasakan pernah hidup di tempat keseharian kita yang begitu sempit.
Semua pengalaman dahsyat itu tergambar jelas saat dalam perjumpaan dengan manusia hebat yang begitu kita kenal. Yang begitu kita dekat dan akrab.
Bayangkan jika yang kita kenal, yang kita dekat, dan yang kita akrabi itu adalah Yang Maha Hebat. Dia Yang Memiliki seluruh isi alam raya. Dia Yang begitu Berkehendak atas apa yang ada di seluruh jagat raya. Dia Yang Berkuasa atas segala apa pun selain Dia.
Seharusnya, perjumpaan itu menjadi momen yang jauh luar biasa. Menjadi momen yang paling istimewa seumur hidup kita. Yang patut paling kita banggakan dan teladani untuk anak cucu kita.
Kenapa itu tidak terjadi? Karena kita memang tidak kenal Dia. Terlebih lagi akrab, dan bisa menumpahkan semua rasa yang kita punya.
Jangankan keasyikan dan kerinduan untuk lagi dan lagi dalam kekhusyukan perjumpaan paling mewah itu. Momennya pun kita anggap beban.
Jika momen itu datang, kita begitu tergesa-gesa untuk melakukan perjumpaan itu agar tak lagi menjadi beban yang mengganggu waktu kita. Persis seperti pikulan beban batu yang ingin segera kita lemparkan agar tak menyusahkan langkah keseharian kita.
Itulah mungkin potret shalat kita. Potret piciknya hubungan seorang makhluk hina dengan Dzat Yang Maha Agung dan Bijaksana. (Mh)