KEZUHUDAN Abu Darda. Beliau hidup sederhana dan zuhud terhadap dunia. Pada suatu hari, rekan-rekannya menjenguk Abu Darda yang sedang sakit. Mereka mendapatinya berbaring di atas selembar kulit binatang. Mereka berkata, “Jika kamu mau, kami akan ganti dengan alas tidur yang lebih empuk.”
Baca Juga: Masjid Abu Darda Pekanbaru, Masjid Mewah Tanpa Kotak Amal
Kezuhudan Abu Darda
Dengan isyarat jari telunjuk dan tatapan mata yang jauh ke depan, ia menjawab, “Kampung kita nun jauh disana. Untuk di sana kita mengumpulkan bekal dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat ke sana dan beramal untuk bekal di sana.”
Ini bukan sekedar cara pandang Abu Darda, tetapi sudah menjadi jalan hidupnya.
Putrinya yang bernama Darda’ pernah dipinang oleh Yazid bin Mu’awiyah putra Khalifah. Namun, pinangan itu ditolak. Ketika dipinang oleh seorang laki-laki biasa bahkan dari kalangan miskin lagi papa, pinangan itu diterima dan keduanya menikah.
Orang-orang pun terheran-heran dengan tindakan Abu Darda’. Maka, ia memberitahu mereka alasannya.
“Bagaimana jadinya si Darda’ jika ia sudah dikelilingi para nelayan dan pengasuh, dan terpedaya oleh kemewahan istana. Masih sempatkah ia melakukan ketaatan kepada Allah?”
Abu Darda’ adalah orang bijak yang berjiwa lurus dan memiliki nurani yang bersih. Ia menolak dunia dan semua kesenangannya yang sangat diinginkan nafsu dan didambakan kalbu.
Tidak berarti ia tidak mau bahagia, bahkan ingin merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan hakiki adalah dengan menguasai dunia dan bukan dikuasai dunia.
Jika manusia menerima apa adanya dan memilih hidup sederhana, dan jika manusia memandang dunia sebagai jembatan yang menyebrangkannya ke negeri abadi, maka mereka akan lebih merasakan kebahagiaan.
Ia berkata, “Kebaikan bukankah karena banyak harta dan anak, tetapi kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin banyak ilmu-mu, dan kamu bersaing dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ra., Mu’awiyah menjabat sebagai gubernur di Syam, dan Abu Darda’ diangkat Khalifah sebagai hakim di Syam.
Ia mengawasi mereka yang terlena dengan kemewahan dunia. Ia mengingatkan mereka akan pola hidup dan kezuzhudan Rasulullah serta para syuhada dan shiddiqin dari generasi pertama.
Wilayah Syam waktu itu adalah wilayah makmur yang penuh kemewahan hidup. Penduduknya seolah-olah merasa dibatasi dengan nasihat Abu Darda.”
Abu Darda’ mengumpulkan mereka, lalu berpidato, “Wahai penduduk Syam, kalian adalah saudara seagama, tetangga rumah, dan pembela melawan musuh bersama. Akan tetapi, aku heran melihat kalian yang tidak mempunyai rasa malu.
Kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan. Kalian dirikan bangunan yang tidak kalian diami. Kalian harapkan apa yang tidak akan kalian capai.
Beberapa abad sebelum kalian, mereka juga mengumpulkan dan menyimpan harta. Mereka berangan-angan sangat tinggi. Mereka membangun dengan sangat kokoh.
Tetapi akhirnya, semua yang mereka kumpulkan menjadi sirna, apa yang mereka angankan sia-sia, dan rumah mereka menjadi kuburan. Mereka itu ialah kaum ‘Ad. Harta dan anak mereka melimpah di wilayah And hingga Oman.”
Kemudian senyum pahit menghiasi bibirnya. Sambil menggerakkan tangannya, ia berkata sinsis, “Ayo, siap yang mau membeli harta peninggalan kaum ‘Ad dengan harga dua dirham?”
Dia adalah laki-laki yang beriwabawa, simpatik, dan menyinarkan cahaya. Sifat bijaksananya tunduk pada aturan Allah. Perasannya patuh pada ajaran Rasul dan logika berpikirnya lurus dan terarah.
Bagi Abu Darda’, ibadah bukan hanya rutinitas kosong, melainkan upaya mencari kebaikan dan rahmat Allah, serta sikap kepatuhan total untuk mengikatkan kelemahan manusia dan nikmat yang diberikan Tuhannya.
Ia berkata, “Carilah kebaikan sepanjang hidupmu. Carilah embusan rahmat Allah, karena embusan rahmat-Nya akan mengenai hamba yang dikehendaki-Nya. Mohonlah kepada Allah agar ia menutupi kekurangan kalian, dan menghilangkan rasa takut kalian.”
Orang bijak ini selalu waspada terhadap ibadah yang kosong tanpa arti. Ia sering memperingatkan orang lain dari ibadah seperti ini.
Inilah kepalsuan yang banyak menimpa orang-orang yang lemah iman ketika mereka membangga-banggakan ibadah mereka dan merasa lebih baik dari orang lain dengan ibadah itu.
Perhatikanlah ucapanya, “Sekecil apa pun kebaikan orang yang bertakwa lebih baik dari ibadah sebesar gunung orang yang menipu diri.”
Ia juga berkata, “Jangan membebani orang lain dengan sesuatu yang tidak dibebankan kepada mereka.
Jangan menghitung-hitung kebaikan dan kesalahan orang lain, sebelum kebaikan dan keburukan mereka diperhitungkan Allah.
Perhatikanlah diri kalian sendiri, karena barangsiapa yang menginginkan apa yang dimiliki orang lain, niscaya akan merana berkepenjangan.”
Ia tidak menginginkan seorang ahli ibadah yang merasa lebih baik daripada orang lain. Akan tetapi, semestinya ia bersyukur kepada Allah yang telah memudahkannya beribadah dan mendoakan mereka agar dimudahkan untuk beribadah seperti kemudahan yang diterimanya.
Pernahkan Anda melihat sikap bijaksana yang lebih baik dari sikap bijaksana orang ini? [Cms]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah