ChanelMuslim.com – Kelakuan Orang Betawi
Meski sudah 75 tahun Indonesia merdeka, kesepahaman tentang kebhinekaan antar suku bangsa kadang masih belum selesai. Tidak bisa orang Betawi dipaksa seperti Solo. Dan orang Solo pun tidak bisa dipaksa layaknya Betawi. Begitu pun dengan suku-suku yang lain. Masing-masing punya kekhasannya.
Mengakui kebhinekaan berarti juga memahami perbedaan masing-masing suku, agama, dan ras. Untuk urusan suku, boleh jadi, Betawi paling disorot. Mungkin hal itu wajar. Betawi merupakan tuan rumah dari ibu kota Jakarta, pusat dari pemerintahan Indonesia. Suku mana pun yang datang ke Jakarta, pasti akan bersentuhan dengan Betawi.
Baca Juga: Berbincang dengan Ridwan Saidi, Heri Koswara Bahas Sejarah Betawi
Kelakuan Orang Betawi
Sayangnya, belum semua suku yang datang ke Jakarta, memahami betul karakteristik Betawi. Hal inilah yang kadang menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan, bisa terjadi gesekan.
Ada contoh menarik. Seorang pria Betawi ingin melamar gadis yang orang tuanya asli Solo. Sepasang pemuda pemudi ini sudah sepakat untuk membangun mahligai rumah tangga. Datanglah pria Betawi ini ke rumah calon istrinya untuk melamar. Ia datang ditemani sanak kerabatnya.
Orang tua Solo ini begitu ramah menerima kedatangan tamu agung mereka. Sang tamu dipersilakan masuk, dipersilakan duduk di ruang tamu, dan tak lama kemudian disuguhi minum dan kue.
Konflik pun mulai terasa. Sang tamu kurang memahami tradisi Solo, dan tuan rumah pun jarang bergaul dengan gaya Betawi. Setelah suguhan itu diletakkan di meja, tanpa menunggu aba-aba, para tamu itu termasuk calon mempelai pria langsung saja minum dan makan apa yang ada di meja. Padahal, tuan rumah belum mempersilakan mereka untuk memulai.
Entah karena haus atau lapar, hanya dalam waktu hitungan menit, semua yang ada di meja nyaris bures alias habis tanpa sisa. Menariknya, sedikit pun tak ada ekspresi malu atau merasa bersalah dari para tamu. Mereka cuma bilang, alhamdulillah!
Apa yang terjadi kemudian? Beberapa hari setelah kunjungan itu, pihak dari tuan rumah mengabarkan kalau lamaran pria Betawi itu ditolak mentah-mentah. Mereka menilai tata krama calon menantu dan keluarganya itu kurang patut. Kalau belum kenal saja sudah begitu tidak sopan, gimana kalau sudah jadi menantu.
Sebenarnya, tidak ada yang patut disalahkan dari contoh kasus ini. Permasalahannya begitu sederhana. Yaitu, keduanya belum mengenal kekhasan satu sama lain. Sesuatu yang biasa menurut Betawi, boleh jadi, sangat luar biasa untuk orang Solo. Dan begitu pun sebaliknya.
Betawi Punya Gaye
Sekilas untuk mereka yang baru mengenal suku Betawi, akan menilai orang Betawi kurang sopan, urakan, kasar, dan lainnya. Karena itu, tak ada salahnya memahami Betawi lebih dahulu sebelum berinteraksi dengan warga Jakarta. Apalagi memimpin orang-orang Betawi.
Dalam sejarah masyarakat Betawi, bisa dibilang tidak ada kerajaan yang menguasai wilayah itu. Karena Jakarta sudah menjadi pusat kekuasaan kompeni Belanda sejak ratusan tahun lalu. Selain itu, Jakarta juga sebagai pusat perdagangan karena wilayahnya yang berada di pusat Pelabuhan Indonesia. Interaksi antar jenis manusia pun sudah berlangsung lama. Ada Eropa, Cina, Arab, Melayu, dan lainnya.
Hal itulah yang mempengaruhi tradisi orang Betawi. Antara lain soal bahasa. Dalam bahasa Betawi, mungkin tidak dikenal strata, atau bahasa halus dan bahasa umum. Jarang ditemui seorang anak Betawi mengucapkan kata yang berarti kamu kepada temannya, berbeda ketika ia mengucapkan arti yang sama kepada orang tuanya. Jadi, ucapan yang berarti kamu dengan teman, sama saja dengan yang diucapkan ke orang tuanya. Sama-sama diucapkan ‘elu’: “Elu sih Be, teledor. Nabrak dah tu motor.”
Yang menunjukkan kesopanan dari bahasa Betawi umumnya dengan menambahkan satu kata tambahan. Misalnya kepada kakak laki-laki ditambahkan, Bang. Untuk kakak perempuan ditambahkan kata Mpok. Untuk orang tua ditambahkan kata Nyak atau Babe. Tapi kata gantinya nyaris sama: elu, gue, die.
Bahasa Betawi menunjukkan hal yang simpel, to the point, dan biasanya diucapkan dengan intonasi keras. Jarang sekali orang Betawi berbicara dengan pelan. Jangan heran jika di sebuah rumah terjadi seperti perdebatan keras dan ramai, padahal jika ditelusuri hanya obrolan tiga orang.
Sebegitu simpelnya, orang Betawi tidak cocok dengan istilah atau kata yang panjang dan jelimet. Secara alami, semua yang panjang dan jelimet itu akan disingkat dan menjadi kata tersendiri. Termasuk dengan nama orang.
Seseorang yang bernama Muhammad biasanya dipanggil Mamat, Julaiha menjadi Leha, Bahruddin dipanggil Udin, Rodhiya menjadi Rorod, dan seterusnya.
Orang Betawi tidak suka basa-basi. Kalau tidak suka dengan seseorang, ia tidak tersenyum ketika di hadapan orang itu. Siapa pun orang yang tidak disukai itu. Jadi, hampir tidak dikenal di masyarakat Betawi ada kebiasaan di depan lain, di belakang beda lagi. Orang Betawi begitu konsisten: di depan begitu, di belakang juga tetap begitu.
Orang Betawi sangat egaliter. Hal ini wajar karena dalam sejarahnya, masyarakat Betawi nyaris tidak mengalami sebuah pemerintahan kerajaan. Yang dialami mereka hanya ada penguasa penjajah.
Hal inilah yang menjadikan orang Betawi tidak terbiasa dengan prosedur atau protokol. Jadi, jangan heran jika ada tamu Betawi datang ke rumah Anda dengan ucapan Salamu ‘alaikum dengan keras, ternyata ia sudah ada di depan kamar Anda. Terus sang tamu bilang, “Eh, ada orangnye. Kirain pada kemane, sepi banget.”
Bagi orang Betawi, hal itu bukan menunjukkan ketidaksopanan. Sebaliknya, menunjukkan keakraban dan persaudaraan. Dan kalau disediakan suguhan makan dan minum, ia tidak perlu menunggu aba-aba tuan rumah. Karena menurutnya, suguhan yang sudah disediakan berarti dipersilakan.
Tidak terbiasa dengan prosedur ini pula yang mengesankan orang Betawi seperti susah diatur. Jangankan aturan jelimet seperti protokol perusahaan atau pemerintahan, dengan orang tua pun aturan protokolnya nyaris tidak ada.
Jangan heran jika melihat orang Betawi, ada anaknya yang santai saja duduk di bangku sementara orang tuanya sedang duduk di lantai. Bagi mereka, berada di posisi yang lebih tinggi atau rendah bukan menunjukkan kemuliaan atau kehinaan. Melainkan, hal biasa yang kebetulan ada yang suka duduk di posisi atas, dan ada yang lebih suka duduk di posisi bawah atau lantai.
Namun begitu, orang Betawi selalu jujur, apa adanya, adil dan sportif. Penghormatan bagi mereka bukan pada protokol dan prosedur, melainkan pada tindakan nyata. Apa yang menurut mereka baik, akan dibilang baik meskipun dunia mengatakan buruk. Sebaliknya, apa yang menurut mereka buruk, akan dibilang buruk, meskipun dunia mengecamnya.
Karena itu, prosedur atau aturan yang dipahami masyarakat Betawi bukan pada hal tertulis atau diucapkan. Tapi, dibuktikan dengan contoh yang dilakukan berulang-ulang. Kalau seorang pemimpin yang ingin menerapkan aturan protokol kesehatan di Betawi misalnya, tidak perlu dengan aturan yang jelimet. Cukup kasih contoh dari para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pun jika ada pemimpin yang ingin dihormati masyarakat Betawi. Tidak perlu dengan aturan yang jelimet, apalagi mengancam. Cukup bergaul dengan memperlihatkan ketulusan dan apa adanya. Dan kalau orang Betawi cinta dengan pemimpin, mereka tidak akan pernah berpindah ke yang lain, meskipun ditaburi seribu satu godaan dan ancaman. (Mh)