KISAH murid yang berusaha bertemu dengan guru. Kita dapat melihat bahwa kedudukan ilmu sungguh tinggi, para ulama zaman dulu, rela mengorbankan waktu, tenaga bahkan hartannya hanya untuk mendapatkan ilmu.
Saat ini begitu mudahnya untuk mendapat ilmu dengan fasilitas teknologi dan majelis ilmu serta beragam buku, namun sangat sedikit yang sungguh-sungguh mencari ilmu untuk dirinya, untuk diamalkan dan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat.
Simaklah bagaimana kisah seorang murid yang berjalan jauh meninggalkan kampung halamanannya hanya untuk mendapatkan ilmu dari seorang ulama.
Baca Juga: 4 Upaya Kembangkan Kapasitas Guru Madrasah
Betapa Pentingnya Ilmu, Kisah Murid yang Berusaha Bertemu dengan Guru
Sebagian ulama menukil dari Hafid Baqi Abdurrahman bin Ahmad. Ia berkata, “Aku mendengar ayah berkata,” Ayah melakukan perjalanan dari Makkah menuju Baghdad. Ia berharap bisa bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal.
Ayah berkata, “Saat aku telah berada di tempat dekat Baghdad, aku mendapati ujian berat, karena ia dilarang. Aku sangat sedih.”
Aku memasuki kota Baghdad, dan aku menyewa rumah penginapan di sana.
Aku datang ke masjid. Aku ingin duduk bersama para jamaah lain. Aku menuju sebuah halaqah. Aku lihat seseorang lelaki sedang mengajar murid-muridnya.
Seseorang berkata kepadaku, “Guru yang sedang mengajar adlah Yahya bin Ma’in. Aku mendapati sebuah tempat kosong, lalu aku maju agar bisa dekat dengan Yahya bin Ma’in.
Aku mendekatinya, lalu berkata, “Wahai Abu Zakariya, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, aku adalah laki-laki asing yang jauh dair tanah kelahirannya. Aku ingin bertanya tentang sesuatu kepada Tuan. Janganlah Tuan menyia-nyiakan harapanku.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Bertanyalah!”
Kemudian aku bertanya tentang beberapa orang yang pernah aku temui. Sebagian orang dia nilai baik, dan sebagian lagi dinilainya cacat.
Lalu, aku bertanya tentang Hisyam bin Ammar. Yahya menjawab, bahwa nama lain Hisyam bin Ammar adalah Abu Al-Walid, pemilik majelis di Damasukus,sosok yang tsiqah di atas standar tsiqah, jika ia sedikit sombong, hal itu tidak membuatnya cacat karena kebaikan dan keutamaan yang dimilikinya.
Beberapa orang yang hadir berkata dengan suara kencang, “Cukup … cukup bagimu -Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu- sekarang giliran yang lain untuk bertanya!”
Sambil berdiri aku bertanya, “Ceritakan kepadaku tentang seorang lelaki, yatu Ahmad bin Hanbal.”
Yahya melihatku dengan pandangan heran. Ia berkata, Bagaimana kami berani menilai Ahmad bin Hanbal?! Beliau imam kaum Muslimin, orang terbaik dan paling utama.”
Aku tinggalkan majelis Yahya, menuju kediaman Ahmad bin Hambal. Setibanya di rumah Ahmad bin Hanbal, aku mengetuk pintu.
Seseorang keluar rumah, lalu aku berkata, “Wahai Abu Abdullah, seorang lelaki asing, jauh rumahnya, datang kepada Tuan. Ini adalah kali pertama aku berkunjung ke negeri ini.
Aku adalah murid yang memperlajari hadits. Aku ke sini hanyalah untuk bertemu dengan Tuan.”
Dia berkata, “Masuklah. Jangan sampai ada orang yang melihatmu!”
Aku pun masuk. Ia bertanya, “Dari mana asalmu?”
Aku berkata, “Dari Maghrib Al-Aqhsa.”
“Afrika?” tanyanya.
“Lebih jauh daripada Afrika,” jawabku.
“Dari negeriku ke Afrika harus berlayar. Negeriku Andalusia.”
“Negerimu sungguh jauh. Aku sangat senang bisa membantumu. Hanya saja aku mengutus orang untuk mengujimu. Mungkin kamu telah mengetahuinya.”
“Aku tahu itu. Ini adalah kali pertama aku masuk ke sini. Aku adalah orang asing bagi kalian semua. Jika Tuan mengizinkan, setiap hari aku akan mengajukan pertanyaan. Aku akan menyampaikan pertanyaan di dekat pintu ‘rumah Tuan.
Jika Tuan menyampaikan satu saja hadits dalam satu hari, maka itu sudah cukup bagiku.”
“Boleh, Syaratnya, kedatanganmu tidak diketahui oleh orang lain. Tidak juga oleh para muhaddits (ahli hadits).”
“Baik, aku setuju dengan syarat Tuan.”
Aku memegang tongkat, dan menutup kepala dengan kain kotor. Aku berdiri di dekat pintu Ahmad bin Hanbal. Aku bertkata dengan suara keras, “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Tuan.
Semoga Allah memberikan rahmat keapda Tuan. Orang yang mau bertanya telah berdiri di dekat pintu.”
Seseorang yang ditugaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal menemuiku, lalu menutup pintu. Ia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih. Aku melakukan hal itu sampai orang itu meninggal.
Kemudian kedudukan orang itu digantikan oleh orang yang lain juga bermadzhab Ahlu Sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal keluar. Kepalanya memakai sorban. Ia mengetahui tingkat kesabaranku dalam belajar. Jika kau datang ke majelisnya, ia memberikan temtpat khusus untukku.
Ia menceritakan kisahku kepada semua yang hadir. Ia megajarkan kepadaku haidts, membacanya untukku, lalu aku membaca kembali di hadapannya, digubahnya, dan mereka memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia sering berkunjung pada mereka sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di sana sebelum tahun 350 H. ia sangat tekun dalam mempelajari haidits.
Ia juga seorang penyair, menulis bait-bait syair panjang maupun pendek. Abdussalam bin As-Samh Asy-Syafii mengabarkan kepadaku bahwa ia bertemu dengan Abdussalam bin Yazid di Yaman, dan menemanunya bertemu dengan Ibnu Zaid dan Al-Qasim bin Al-Hasan.
Ia mencelanya karena lamanya ia singgah di negeri Timur, kemudian mendorongnya agar kembali ke Andalusia. Yang dicela menjawab, “Aku tidak akan kembali ke Andalusia sebelum singgah di Baghdad dan menulis hadits, adab, dan syair di sana; lalu pergi ke Syam dan menulis hadits di sana serta menulis semua kitab yang aku dengar.
Setelah itu, semua ilmu itu akan aku bawa ke Andalusia. Kemudian Abdussalam bin As-Samh pergi ke Mesir dan meninggalkan Abdusaalam bin Yazid di Yaman. Harapannya untuk kembali ke Andalusia tidak tercapai, namun aku sempat mendengar syair-syairnya, dan dia memberikan syair yang ditulisnya sendiri kepadaku.”
Dari kisah murid bertemu guru ini, semoga bisa menjadi inspirasi untuk kita semua. [Cms]
(Sumber: Golden Stories Kisah-Kisah Indah Dalam Sejarah Islam, Mahmud Musthafa Sa’ad & Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Pustaka Al-Kautsar)