ChanelMuslim.com- Sejak penerapan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah negeri, selalu terjadi kisruh antara pihak siswa, sekolah, dan pemda. Meski usia aturan ini sudah tiga tahun, kisruhnya tak kunjung surut. Bahkan, bisa berbuntut politis.
Sejatinya, dasar penerapan sistem zonasi atau lebih berhaknya calon siswa terdekat sekolah untuk terdaftar memiliki tujuan mulia. Setidaknya ada dua tujuan: pemerataan dan keadilan. Pemerataan adalah sistem ini akan menghapus kasta dalam sekolah yang selama ini terjadi. Bahwa, semua sekolah memiliki mutu yang sama, dan tidak ada lagi sekolah favorit.
Sementara untuk tujuan keadilan, semua siswa khususnya yang berdomisili dekat dengan sekolah memiliki kesempatan untuk diterima. Tanpa melihat nilai ujian yang sebelum ini terjadi. Dengan begitu, siswa yang rumahnya terdekat dengan sekolah, mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, dan yang memiliki prestasi di bidang lain; berkesempatan untuk masuk sekolah tersebut.
Sayangnya, tujuan mulia ini teramat sulit dalam penerapannya. Ada sejumlah alasan. Pertama, daya tampung sekolah negeri yang sedikit. Untuk kota selevel DKI Jakarta saja, daya tampung yang tersedia berkisar 34 persen dari siswa yang mendaftar. Jadi, mau diotak-atik bagaimana pun, selalu akan terjadi ketidakpuasan calon siswa karena sebagian besar mereka memang tidak akan bisa masuk sekolah negeri.
Kenapa tidak menambah sekolah negeri? Gagasan ini terkesan sederhana, tapi akan berdampak besar buat dunia pendidikan, terutama sekolah swasta. Bukankah selama ini sekolah swasta sudah banyak berperan melengkapi tugas pemerintah di dunia pendidikan. Bahkan, sebagian sekolah swasta sudah memiliki mutu pendidikan yang melebihi sekolah negeri. Jadi, meski berbayar mahal, mutunya bisa dijamin.
Kedua, paradigma sekolah favorit di pihak siswa dan orang tua masih belum hilang. Hal ini karena kuatnya anggapan bahwa dengan melalui sekolah favorit itulah siswa akan mendapatkan jalan mulus untuk melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Tidak heran jika banyak orang tua mampu yang mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan anaknya agar bisa diterima di sekolah favorit tersebut. Berapa pun biaya les, privat, dan sejenisnya akan dikeluarkan para orang tua ini demi bisa masuk sekolah favorit.
Dari sinilah seolah ada indikasi lain yang menunjukkan bahwa jangan-jangan yang disebut sekolah favorit bukan karena sekolahnya yang berkualitas. Melainkan, karena siswa-siswa yang bersekolah itu yang sudah memiliki bibit yang bagus, ditambah lagi dengan tambahan bimbel dan les dari luar sekolah.
Ketiga, adanya kesenjangan biaya pendidikan yang besar antara sekolah negeri dan swasta. Untuk sekolah SMP swasta misalnya, pendaftaran saja bisa menelan biaya belasan juta rupiah. Belum lagi jika mendaftar di jenjang SMA. Biaya ini belum termasuk uang bulanan yang juga lumayan mahal. Sementara, sekolah negeri di semua jenjang tak memungut biaya sepeser pun alias gratis.
Kenyataan ini sepertinya belum menjadi perhatian serius pihak pemerintah. Bukankah biaya gratis itu diambil dari uang rakyat juga melalui APBN. Kenapa tidak dibuat ketentuan bahwa sekolah negeri dikhususkan untuk siswa yang memang benar-benar tidak mampu.
Ijtihad inilah yang boleh jadi akhirnya diambil Pemprov DKI untuk memprioritaskan usia calon peserta didik. Hal ini karena kuat kemungkinan bahwa mereka yang tidak bersekolah meski berusia wajib sekolah lebih karena alasan kemampuan biaya. Tercatat bahwa angka itu cukup memprihatinkan di DKI Jakarta: 40 persen siswa usia SMA tidak sekolah meski usianya sudah wajib bersekolah.
Selama ini, Peraturan Menteri yang mendasari sistem zonasi itu lebih mengedepankan soal jarak dari yang lain. Kalau pun ada kriteria afirmatif atau karena tidak mampu, prosentasinya kecil berkisar 15 persen.
Jika tujuan pendidikan idealnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kenapa tidak dinyatakan saja bahwa sekolah negeri yang dibiayai uang rakyat dikhususkan untuk siswa miskin. Dengan begitu, anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi orang cerdas dan terdidik. Kalau masih ada kuota sisa, baru menerapkan sistem zonasi.
Dengan begitu, bisa diyakini, tidak ada lagi cerita berebut sekolah gratis. Karena merebut hak orang miskin jauh lebih miskin dari orang miskin. (Mh)