ChanelMuslim.com- Meminta maaf itu berat. Tapi, lebih berat lagi menerima maaf atau memaafkan. Ibarat kata, sudah kehilangan malah ngasih yang baru.
Dalam interaksi suami istri, kata maaf bisa keluar pada saatnya. Ada yang spontan, tapi lebih banyak yang butuh proses. Dan ketika pengakuan terhadap kekhilafan muncul, muncul pula kata maaf.
Masalahnya, solusi tidak hanya sekadar maaf. Harus ada pihak pasangan yang menyambut maaf itu. Dan memaafkan itu jauh lebih berat dari meminta maaf. Kenapa menjadi begitu lebih berat? Berikut ini alasannya.
Pertama, kesalahan atau kezaliman yang dirasakan dari orang dekat, jauh lebih menyakitkan dari yang dilakukan orang jauh. Terlebih lagi orang dekat itu adalah yang sangat dicintai. Bagaimana mungkin susu dibalas air tuba.
Siapa pun: istri atau suami, jika mengalami hal yang menyakitkan seperti ini akan mengalami luka dalam yang sulit disembuhkan. Setidaknya, butuh waktu untuk mengembalikan lagi kepercayaan dan rasa cinta.
Hal menyakitkan yang dialami dari orang yang dicintai seperti mengguyur air hujan satu menit di jemuran pakaian yang sudah terjemur seharian. Ngefeknya berat amat. Jadi, sedikit atau sebentar tidak akan mengecilkan luka dari hal menyakitkan itu. Rasanya sama saja dengan yang banyak.
Bukan jumlah yang menjadi ukuran. Melainkan, efek pukulannya yang begitu berat.
Jadi, jika maaf tak kunjung bersambut, maklumi saja. Penantian yang lama bisa dianggap sebagai balasan alami dari kesalahan yang dilakukan. Sabar, tunggu, dan koreksi langkah dari awal.
Kedua, ada respon yang berbeda antara pria dan wanita saat menjadi pesakitan atau yang ditunggu pemberian maafnya. Hal ini karena kecenderungan pria dan wanita juga berbeda.
Pria umumnya lebih cepat memberikan respon. Hal ini karena luka yang terlanjur masuk ke dalam hati tidak berakumulasi ke hal lain yang tidak berhubungan.
Contoh, suami yang kecewa karena kebiasaan istri yang suka belanja tidak akan membawa-bawa kesalahan lain. Seperti, mengkaitkan dengan masakan yang gosong, suka nonton video korea, dan lainnya.
Ketika istri minta maaf karena adanya pengakuan salah itu, suami akan berlapang dada memaafkan. Perhatiannya hanya tertuju pada kebiasaan suka belanja. Tidak ke masakan gosong dan video korea. Karena itu masalah yang berbeda.
Berbeda dengan pria, umumnya wanita sulit memposisikan bentuk dan macam lukanya. Seperti bola salju yang terus membesar, hal-hal lain yang tidak berkaitan langsung menjadi ikut terlibat.
Contoh, istri kesal karena suami berwacana poligami. Tidak tertutup kemungkinan, masalah yang disorot istri bukan hanya soal wacana itu. Tapi juga soal penghasilan suami, soal ilmu agama suami, mungkin juga soal wajah suami yang kurang “standar”. Semua masalah kekurangan menjadi terakumulasi di mata istri. Dan semua itu siap meledak.
Dari sini, reaksi pria dan wanita saat akan memaafkan menjadi berbeda. Setidaknya dari lama waktu proses keluarnya penerimaan maaf. Pria relatif lebih cepat, sementara wanita kalau pun cepat, boleh jadi, ada unsur terpaksa atau takut dengan hal lain di luar dirinya, seperti anak, mertua, guru ngaji, dan lainnya.
Pria bisa mengatakan, Jangan diulangi lagi ya. Tapi wanita, masih pada posisi ragu apakah kesalahan pria yang diajukan permintaan maaf itu benar-benar sudah tuntas. Atau, jangan-jangan hanya sebatas basa basi.
Di sisi yang berbeda, pria terkesan pandai mengolah kata yang pas untuk menjadikan wanita tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Tapi wanita, ia bingung harus bicara apa. Dan senyuman manis merupakan ungkapan yang sudah sangat istimewa.
Ketiga, adanya perbedaan intensitas masalah yang dihadapi suami dan istri dalam kesehariannya. Bisa dibilang, masalah yang dihadapi suami bersifat seri. Sementara bagi istri masalah menjadi paralel. Masalah datang bertubi-tubi: uang belanja kurang, anak-anak sakit, kompor gas rusak, air dari pompa sanyo keruh, hingga omongan tetangga yang kurang sedap.
Di banding masalah suami yang mungkin dari segi bobot lumayan berat, tapi masalah istri yang mungkin sepele itu datang terus-menerus tak kenal antri. Ini belum selesai, datang lagi yang lain. Terus seperti itu.
Semua tumpukan masalah ini biasanya ia redam dalam bentuk ekspresi suara yang agak lebih nyaring. Atau kurangnya perhatian terhadap pelayanan keluarga. Namun, tetap saja, tugas utamanya sebagai istri dan ibu berjalan sesuai jobdes.
Akumulasi masalah ini sebenarnya tidak hilang begitu saja. Tapi mengendap dalam emosi ketidakpuasan yang bisa dialihkan. Nah, jika ada letupan besar yang menarik semua endapan ini keluar maka terjadilah ledakan emosi itu.
Di antara letupan besar itu adalah kesalahan suami yang dinilai fatal dan tidak biasa oleh istri. Mungkin seperti wacana poligami itu.
Kalau letupan besar itu muncul dan ledakan tak lagi tertahankan, jangan heran jika kesalahan kecil suami yang sudah terjadi puluhan tahun lalu bisa terungkap begitu detil. Termasuk mungkin, mahar emas pernikahan yang masih terutang satu gram.
Meminta maaf memang perkara berat. Karena itu menunjukkan adanya sebuah pengakuan atas kekeliruan. Tapi, akan lebih berat lagi pihak yang memaafkan. Ibarat kata, sudah kehilangan, eh, malah harus ngasih lagi. (Mh/bersambung)