MASALAH Palestina telah menjadi isu global atas rasa kemanusiaan dan keadilan. Namun, bagi umat Islam Al Quds atau Palestina yang didalamnya terdapat kiblat pertama kaum muslimin memiliki arti tersendiri. Cita-cita membebaskan Al-Quds terus tertanam dalam jiwa tiap umat Islam.
Al-Quds, Palestina ditaklukkan umat Islam sebanyak dua kali pada masa amirul mukminin Umar bin Khattab pada tahun 637 M setelah melalui perjuangan yang panjang.
Pintu gerbang penaklukan Al-Quds diawali dengan kemenangan kaum muslimin pada perang Yarmuk yang terjadi pada Senin, 5 Rajab 15 H (Agustus 636).
Seratus dua puluh ribu pasukan artileri, ditambah delapan puluh ribu pasukan berkuda Romawi bertemu dengan tiga puluh enam ribu pasukan Islam. Singkat cerita Al-Quds berhasil ditaklukkan setelah dikepung selama enam bulan.
Baca Juga: Baju Lebaran untuk Anak Palestina
Dari Nuruddin Zanki ke Shalahuddin al Ayyubi Mewariskan Cita-Cita Membebaskan Al-Quds
Penaklukan heroik yang kedua adalah di masa Shalahuddin Al-Ayyubi pada 27 Rajab 583 H atau 2 Oktober 1187 M. Penaklukan ini tidak serta merta terjadi. Ada usaha mewariskan cita-cita dari pendahulu kepada generasi selanjutnya.
Saat umat Islam mengalami kemunduran karena perpecahan dan jauh dari nilai-nilai Islam, pasukan Salib menyerang. Sebulan lamanya Jerussalem dikepung dan akhirnya jatuh ke tangan Salib pada tahun 492 H/1099 M.
Saat itulah pasukan Salib melakukan tindakan yang tidak pernah diajarkan oleh agama-agama samawi manapun dan di luar nalar kemanusiaan.
Tujuh puluh ribu kaum muslimin dibantai sampai-sampai aliran darah itu berubah menjadi sungai di Masjid Al-Aqsa, lorong-lorong dan perempatan.
Ibnu Katsir menggambarkan ekpresi kesedihan masyarakat Islam waktu itu, “Para pengungsi Syiria tiba di Baghdad pada bulan Ramadhan ditemani oleh Al-Qadhi Abu Sa’id Al-Harawi. Di istana Khalifah, dia menyampaikan perkataan yang membuat mata menangis dan hati bergetar.
Pada hari jumatnya, para pengungsi itu berdiri di masjid Jami’. Mereka meminta pertolongan dan menangis. Mereka menceritakan apa yang menimpa kaum Muslim, yaitu pembantaian kaum laki-laki, penawanan kaum wanita dan anak-anak dan perampasan harta benda. Masyarakat pun menangis mendengar tragedi yang menimpa mereka.”
Kesuksesan pasukan Salib menduduki Al-Quds ini hanya dapat ditanggulangi dengan satu cara, yaitu kebangkitan Islam. Kebangkitan Islam secara penuh yang menyatukan wilayah timur Islam dan menggabungkan bagian-bagiannya yang terpecah untuk mengusir musuh dan menundukkannya.
Geliat kebangkitan mulai terwujud dengan kebangkitan dinasti Zanki di Mosul. Imaduddin Zanki menyusun negara yang kuat membentang dari Mosul hingga Ma’arat An-Nu’man pada 521 H.
Imaduddin mulai melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Salib dan yang paling mematikan adalah serangan di Ruha pada 539 H.
Imaduddin syahid karena sekelompok pemberontak, posisinya digantikan oleh Nuruddin Zanki. Pada era Nuruddin inilah terjadi perubahan yang besar.
Kesultanan Zanki menjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh yang memiliki visi reformis dan murid-murid madrasah reformasi. Nuruddin membuka pintu lebar-lebar bagi setiap orang yang mau berjuang di jalan Allah sekalipun madzab dan afiliasinya berbeda.
Setelah itu, kesultanan menyalurkan setiap potensi individu dan kelompok untuk melaksanakan tugas operasional dalam koridor manajemen yang umumnya digunakan di masa itu.
Kebijakan yang diterapkan oleh Nuruddin Zanki memiliki enam karakteristik yang menonjol.
Mempersiapkan masyarakat islami, membersihkan kehidupan keagamaan dan budaya dari pengaruh aliran pemikiran yang menyimpang seperti aliran kebatinan, filsafat yunani dan tata cara ibadah serta ritual yang dikembangkan oleh kerajaan Fathimiyah.
Nuruddin menjadikan madrasah sebagai institusi kajian Al-Quran dan Hadis guna melahirkan generasi muda baru yang memiliki aqidah shahihah, intelektual serta mental yang kuat sebagai muslim ideal.
Sultan juga menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan non formal yang menekankan upaya menyuburkan kembali semangat Islam dan mengeliminir ajaran-ajaran menyimpang.
Segala kebijakan Nuruddin untuk menelurkan generasi baru pun membuahkan hasil. Tokoh sebesar Shalahuddin tidaklah lahir sendiri tanpa proses yang panjang dan perencanaan yang matang.
Dalam karyanya “Al-Mahasin Al-Yusufiyyah wa an Nawadir Sulthaniyyah” Ibnu Syaddad membahas fase-fase perjalanan kehidupan seorang Shalahuddin.
Menurut catatan sejarah tentang fase pertama kehidupan Shalahuddin tidak lebih dari seorang pemuda biasa yang suka menghabiskan waktunya untuk bermain bola, menunggang kuda dan permainan anak muda umumnya.
Keadaan ini terus berlanjut sampai ketika menyertai pamannya Asaduddin Syirkuh, yang merupakan panglima tertinggi tentara Nuruddin dalam sebuah ekpedisi ke Mesir.
Di sinilah Shalahuddin mulai bersentuhan langsung dengan Mu’askar ‘Aqidiy (pasukan yang mengusung nilai luhur aqidah Islam) yang telah melatih diri dengan bekal pemikiran, semangat dan kemiliteran. Shalahuddin menggambarkan kondisi kejiwaannya saat mulai bergabung dengan pasukan ini seperti berikut,
“Sebenarnya aku sangat tidak suka untuk bergabung dengan pasukan dalam misi pernyerbuan kali itu. Keikutsertaanku bersama paman bukan didorong oleh pilihanku sendiri. Inilah hikmah yang dapat diambil dari firman Allah “Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia adalah lebih baik bagi kamu”. (Al-Baqarah:216)”
Dalam Thabaqat Asy-Syafiiyah jilid 7 halaman 241, As-Subki menegaskan ada perubahan pada kepribadian Shalahuddin, ia menyatakan,
“Saat Shalahuddin memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Nuruddin, ia telah meninggalkan gaya hidup yang bergelimang kenikmatan.”
Maka, saat itulah terjadi perubahan radikal pada diri Shalahuddin berkat pengaruh bimbingan islami yang dialaminya dan pada saat itulah dia mulai menempatkan dirinya dalam arus gerakan Islam yang dipimpin oleh Nuruddin.
Ibnu Syaddad menceritakan perubahan besar dalam hidup Shalahuddin dan konsistensinya dalam mengikuti prinsip-prinsip Islam setelah kematian pamannya, Asaduddin Syirkuh sekaligus menggantikan posisinya sebagai wazir di Mesir. Saat itu umur Shalahuddin baru 32 tahun.
Semenjak wafatnya Nuruddin, terbukalah berbagai kesempatan lebar bagi Shalahuddin untuk menyatukan dunia Islam di bawah satu pemerintahan.
Allah pun memberikan kesempatan itu dan ia berhasil menguasai kerajaan besar mencakup Irak, Syiria, Mesir dan Barqah. Setelah itu, Shalahuddin mulai melakukan persiapan untuk memerangi orang Frank dan kemudian membebaskan Al-Quds.
Apa yang dilakukan oleh Nuruddin Zanki memberikan inspirasi kepada keluarga-keluarga Muslim, bagaimana mewariskan cita-cita kebangkitan umat dan pembebasan Palestina [Maya/referensi: kiblat.net]