BAGAIMANA penjelasan vegetarian dalam Hindu, Kristen, dan Islam? Mungkin pengetahuan berikut ini akan berguna buat kamu. Baca sampai selesai, yuk.
‘Jangan sembelih satu binatangpun!” sabda Sang Sidharta Gautama, seperti dikutip Journal of America Diet Ethics Associations, 1963.
Inilah ajaran Hindu yang melandasi vegetarianisme. Ditafsirkan Mahatma Gandhi yang seorang vegan (penganut vegetarianisme):
”Kita bersalah dalam meniru binatang yang lebih rendah, padahal kita sebenarnya lebih tinggi dari mereka. Pengalaman mengajarkan bahwa makanan daging tidak cocok untuk mereka yang akan mengalahkan nafsunya.”
Situs kaum vegetarianisme vegan, christianveg.com, dalam pengantarnya tentang landasan biblikal kaum vegan, menulis:
”Jika Yesus menyaksikan pabrik pertanian modern, ia akan menemukan kekeliruan perlakuan yang meluas terhadap binatang, dan dia akan menyesalkan kontribusi pemborosan ini terhadap kerusakan lingkungan dan kelaparan dunia. Kita percaya, dia akan menjadi vegetarian.”
Selanjutnya, situs ini menunjuk sejumlah dalil vegetarian dalam Injil, misalnya Genesis 1: 29-30, Isa 11: 6-9, Matius 6: 10, 26: 1 Corinthians 8: 13, dan lain-lain.
Sejumlah tokoh dunia selain Gandhi, dikabarkan menganut vegetarianisme.
Di antaranya: Aristoteles, Plato, Charles Darwin, Leonardo da Vinci, Einstein, Benjamin Franklin, Martin Luther, dan Isaac Newton. Juga Abdul Kalam, presiden muslim India di zamannya.
”Banyak yang menjawab doanya sendiri dengan cara berhenti makan daging,” ucap Henry Ward Beecher.
Vegan lain bernama Albert Schweitzer mengatakan, makanan daging tidak sesuai dengan perasaan yang lebih baik atau halus.
Jika vegetarianisme mengharamkan daging binatang, bagaimana dengan ajaran Islam?
Baca Juga: Mengenal Komunitas Vegetarian Indonesia, IVS
Vegetarian dalam Hindu, Kristen, dan Islam
Prof. Qurais Shihab menjelaskan, makanan atau tha’am dalam bahasa Al Quran, adalah segala yang dimakan atau dicicipi, termasuk minuman.
Qurais juga mengungkapkan, semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia:
Yaa ayyuhan nas; kepada Rasul: Yaa ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang mukmin: Yaa ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan kata halal dan thayyibah (baik).
”Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut,” tulis Qurais dalam Wawasan Al Quran.
Berdasarkan ayat: ”Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi seluruhnya” (Al Baqarah: 29),
dan ”Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya” (Al Jatsiyah: 13),
para ulama membuat kaidah dasar (ushul) fiqih bahwa ”semua makanan pada dasarnya halal, kecuali yang disebut keharamannya.”
Secara eksplisit, Kitab Suci juga menyebut kehalalan sejumlah jenis binatang.
Misalnya hewan air laut dan tawar, seperti disebut dalam Surat an Nahl 14:
”Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya).”
Bahkan hewan air yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan Surat al Ma-idah: 96:
”Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.”
Buruan laut, maksudnya binatang yang diperoleh dengan mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut maupun perairan darat.
Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, seperti diriwayatkan Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan lain-lain melalui Abu Hurairah, menegaskan, ”Laut suci airnya dan halal bangkainya.”
Baca Juga: Akibat Mengonsumsi Makanan atau Minuman Haram
Makanan yang Haram
Hanya sedikit jenis binatang dan produk pangan turunannya yang diharamkan agama Islam, yaitu;
1. Bangkai.
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Selain haram, juga berbahaya jika dikonsumsi karena endapan darahnya yang mengganggu kesehatan.
Bangkai terklasifikasi menjadi:
- Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik sengaja atau tidak.
- Al-Mauqudhah, hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras atau disetrum listrik.
- Al-Mutaraddiyah, yang mati karena jatuh dari ketinggian atau ke dasar sumur.
- An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Keharaman bangkai dikecualikan untuk dua binatang yaitu ikan dan belalang, berdasarkan hadis:
“Dari Ibnu Umar berkata: ‘Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa” (Shahih, takhrijnya dalam Al-Furqan hlm. 27 edisi 4/Th.11)
Rasulullah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau berwasiat: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR Daraqutni: 538).
2. Darah.
Maksudnya darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya: “Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145).
Sejumlah pangan yang berbahan baku atau mengandung darah atau plasma darah diantaranya: saren (didih, dadeh, atau marus), lawar, ham, sosis.
Dalam hal ini, ada pengecualian untuk hati dan limpa berdasarkan hadis Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir.
Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr Shahih Al-Fauzan).
3. Daging babi. ‘
’Diharamkan bagimu makan bangkai, darah, dan babi…’’ (Al Maidah 3). Juga hadits Nabi yang diriwayatkan dari Jabir ra, bahwa Rasululullah Shallallahu alaihi wa sallam berwasiat,
‘’Allah mengharamkan penjualan (dan pembelian) arak, bangkai dan babi.’’ Seorang sahabat bertanya, ‘’Ya Rasululullah, bagaimana dengan lemak babi?
Lemak babi dapat digunakan untuk mengecat perahu, menghaluskan kulit, dan sebagai alat penerang (pelita)?’’
Nabi menegaskan, ‘’Tidak, ia tetap haram. Allah mengutuk orang-orang Yahudi.
Allah mengharamkan mereka makan lemak babi, tetapi mereka mengumpulkannya lalu menjualnya dan makan harganya (hasilnya).” (HR Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan).
Menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, babi najis keseluruhannya tanpa kecuali. Salah satu dasar yang digunakan adalah surat Al An’am ayat 145 yang menyebut kenajisan babi.
Pendapat ini pula yang diambil sebagai fatwa MUI pada September 1994, yang menyatakan bahwa haram hukumnya memanfaatkan babi dan unsur-unsurnya.
4. Sembelihan atas nama selain Allah.
Misalnya kerbau yang disembelih untuk penunggu jembatan, atau daging ayam untuk sesaji di pohon besar atau tempat yang dikeramatkan.
5. Hewan yang diterkam binatang buas.
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudian mati karenanya, maka hukumnya haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena (seperti disembelih).
Hewan yang diterkam binatang buas, jika masih menampakkan tanda-tanda kehidupan (bernyawa) seperti tangan dan kakinya bergerak-gerak atau bernafas, menjadi halal jika disembelih secara syar’i.
6. Binatang buas bertaring.
Hal ini berdasarkan hadis: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw berwasiat: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan”. (HR Muslim no 1933).
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya.”
8. Khimar (keledai jinak).
Hal ini berdasarkan hadis: “Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda” (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no 1941).
9. Al Jalalah.
Hal ini berdasarkan hadis: “Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki’’. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
Al-Jalalah adalah hewan yang makanan pokoknya kotoran seperti feces manusia/hewan dan sejenisnya (Fahul Bari 9/648).
Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung (karantina) ayam pemakan kotoran selama tiga hari.
(Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Setelah dikarantina dalam waktu secukupnya hingga hilang pengaruh kotorannya, hewan itu menjadi halal dikonsumsi.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu bolehnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. Biawak bagi yang merasa jijik dengannya.
Terdapat beberapa hadis dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob (biawak) baik secara tegas berupa perkataan Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi).
Di antaranya, hadis Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi): “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya” (HR Bukhari no 5536 dan Muslim no 1943).
11. Hewan yang wajib dan haram dibunuh.
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah berwasiat: Hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram, yaitu: ular, kalajengking, tikus, anjing hitam”
(HR Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz kalajengking diganti ular).
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74):
“Setiap binatang yang diperintahkan Rasulullah untuk dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya…”
(Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah melarang membunuh 4 hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267) dll. Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan:
“Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya” (Al-Majmu’ 9/23 oleh Imam Nawawi).[ind]