oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com–Tersebar Broadcast (BC) yang menyalah-nyalahkan ucapan ‘minal aidin’ yang sudah berlaku di Indonesia selama puluhan tahun, bahkan mungkin berabad lamanya. Ini adalah sikap berlebihan dan ngawur.
Ucapan “Minal Aidin” bukan kesalahan, dan tidak terlarang, sebab tidak ada dalil larangannya.
Asalnya adalah “ja’alanallah wa iyyakum minal ‘aaidin wal faaizin” – semoga Allah menjadikan kami dan Anda termasuk orang yang kembali (suci) dan menang/beruntung.
Tidak ada yang salah dalam kalimat ini. Imam Asy Syafi’iy mengatakan bahwa perkataan itu jika baik maka itu adalah baik, jika buruk maka itu adalah buruk.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
التهنئة بالعيد جائزة ، وليس لها تهنئة مخصوصة ، بل ما اعتاده الناس فهو جائز ما لم يكن إثماً
Ucapan selamat hari raya itu boleh, dan TIDAK ADA KALIMAT YANG KHUSUS, tetapi disesuaikan dengan kebiasaan di tengah manusia, selama tidak mengandung dosa.
Beliau juga berkata tentang bersalam-salaman dan berpelukan saat di hari raya, yang biasa dilakukan manusia:
هذه الأشياء لا بأس بها ؛ لأن الناس لا يتخذونها على سبيل التعبد والتقرب إلى الله عز وجل ، وإنما يتخذونها على سبيل العادة ، والإكرام والاحترام ، ومادامت عادة لم يرد الشرع بالنهي عنها فإن الأصل فيها الإباحة
Semua ini tidak apa-apa, karena manusia tidak menjadikannya sebagai ibadah ritual dan sarana taqarrub ilallah. Mereka hanyalah menjadikan itu sebagai kebiasaan saja, pemuliaan dan penghormatan. Maka, selama sebuah kebiasaan tidak ada larangan dalam syariat maka itu diperbolehkan.
(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin, 16/208-210)
Ada pun Taqabbalallah minna wa minkum, bukanlah sunnah Rasulullah ﷺ, tapi itu perbuatan atau sunnahnya para sahabat nabi. Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah tidak memakainya untuk memulai ucapan selamat, artinya Beliau memandang ini bukan sunnah dalam artian hukum sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
أَمَّا التَّهْنِئَةُ يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إذَا لَقِيَهُ بَعْدَ صَلاةِ الْعِيدِ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ , وَأَحَالَهُ اللَّهُ عَلَيْك , وَنَحْوُ ذَلِكَ , فَهَذَا قَدْ رُوِيَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَهُ وَرَخَّصَ فِيهِ , الأَئِمَّةُ , كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ .
Ada pun ucapan selamat hari raya, yang biasa diucapkan manusia kepada lainnya setelah shalat Id: Taqabbalallah Minna wa Minkum, wa ahaalahullah ‘alaika, dan yang semisalnya, hal ini diriwayatkan dari segolongan sahabat nabi. Mereka melakukannya dan memberikan keringanan atas hal itu, demikian pula para imam seperti Imam Ahmad dan lainnya.
لَكِنْ قَالَ أَحْمَدُ : أَنَا لا أَبْتَدِئُ أَحَدًا , فَإِنْ ابْتَدَأَنِي أَحَدٌ أَجَبْته , وَذَلِكَ لأَنَّ جَوَابَ التَّحِيَّةِ وَاجِبٌ , وَأَمَّا الابْتِدَاءُ بِالتَّهْنِئَةِ فَلَيْسَ سُنَّةً مَأْمُورًا بِهَا , وَلا هُوَ أَيْضًا مَا نُهِيَ عَنْهُ , فَمَنْ فَعَلَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ , وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَهُ قُدْوَةٌ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ” اهـ .
Tetapi Imam Ahmad berkata: “Aku tidak akan memulai mengucapkannya kepada seseorang, tapi kalau ada yang mulai mengucapkan kepadaku, maka aku akan jawab.”
Memulai ucapan selamat tidak ada sunnah perintahnya, dan tidak ada pula larangannya. Maka, barang siapa yang mengucapkannya maka dia ada contoh, dan barang siapa yang tidak mengucapkannya dia juga ada contoh. Wallahu a’lam
(Fatawa Al Kubra, 2/228)
Maka mengucapkan Taqabbalallah Minna wa Minkum, silakan. Ini perbuatan para sahabat nabi.
Mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faaizin, silakan. Ini adalah kebiasaan baik lagi benar (al ‘urf ash shahih) yang ada di negeri ini. Sebagaimana kata Syaikh Utsaimin, jika sebuah kebiasaan itu tidak mengandung dosa maka hal itu diperbolehkan.
Agama ini mudah, dan jangan persulit sendiri dan umat manusia, dengan ekstrimitas yang tidak perlu.
Demikian. Wallahu a’lam.
[ind/alfahmu]