PEMIMPIN yang sederhana dekat dengan rakyat. Karena keadaan keduanya seperti tak berjarak.
Para ahli sejarah muslim maupun non muslim terpukau dengan kepemimpinan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau asli sederhana, bukan pencitraan.
Hampir setiap hari Umar mengecek keadaan pasar. Ia memunguti hasil pertanian yang tercecer di jalan untuk diberikan warga yang membutuhkan. Ia juga mencambuk di tempat, siapa pun pedagang yang terbukti curang.
Kalau malam tiba, Umar bersama stafnya berkeliling negeri untuk memastikan keamanan dan kenyamanan hidup warganya.
Di semua momen turun ke warga itu, Umar biasa mengenakan baju dengan tambalan sana-sini. Ia tak pernah merasa risih apalagi malu. Padahal saat itu, kekuasaannya sudah melampaui separuh dunia.
Umar juga tidak aji mumpung. Meski sebagai khalifah, ia tidak minta difasilitasi ketika berkunjung ke wilayah gubernuran.
Seorang sahabat bernama Abdullah bin Amir yang staf Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma pernah memberikan kesaksian saat menemani Umar menunaikan ibadah haji ke Mekah.
Meski sebagai khalifah, Umar tak mau difasilitasi apa pun oleh gubernur Mekah saat itu. Ia tidak membuat tenda khusus di sekitar Ka’bah. Umar hanya menggelar tikar di bawah sebuah pohon. Ia berteduh dan tidur di situ.
Suatu malam di Madinah, salah seorang putera Umar bin Khaththab: Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengunjungi ayahandanya di rumah.
Dari balik pintu, Umar bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Aku, Abdullah. Puteramu!” jawab Abdullah bin Umar.
Umar mempersilakan anaknya yang sudah berkeluarga itu masuk. Ia pun mengatakan lagi, “Kamu datang dalam urusan pribadi, negara, atau umat?”
Abdullah menjawab, “Urusan pribadi!”
Saat itu juga, Umar mematikan lampu yang menerangi ruangan tempat keduanya berada. “Lampu ini menyala dibiayai oleh negara,” ujarnya. Keduanya pun berbincang-bincang dalam suasana gelap.
**
Jabatan itu amanah. Bukan prestise apalagi keagungan. Ada tugas berat yang terpikul di balik jabatan yang diemban.
Sederhana atau tidaknya seorang pejabat bergantung pada paradigmanya. Kesederhanaan itu lahir bukan karena sebuah aturan jelimet. Bukan pula tekanan opini publik, apalagi pencitraan.
Sejatinya, seorang pejabat sedang mempertaruhkan nasibnya di akhirat dari jabatannya itu. Itu kalau ia beriman dengan akhirat. Karena setan akan memberikan seribu satu dalih kepada sang pejabat bahwa ia memang berhak mendapatkan banyak hal dari jabatannya.
Menangislah wahai pejabat. Karena amanah beratmu itu akan menjadi agenda utama hisabmu di akhirat. [Mh]