KEBERADAAN kelompok ekstrim kanan dan ekstrim kiri di Indonesia menginisiasi Kementerian Agama Republik Indonesia mengusung konsep moderasi beragama pada tahun 2020. Konsep ini menjadi bagian dari rencana strategis nasional tahun 2020-2024.
Istilah moderation atau moderasi berasal dari bahasa latin yaitu “moderatio” yang artinya tidak lebih dan tidak kurang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Menurut Prof. Dr. Dede Rosyada, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2015-2019, menyebutkan bahwa dalam bahasa Arab moderation diistilahkan dengan wasath atau wasathiyah.
Baginya, wasathiyyah maupun moderation memiliki arti yang sama yaitu tidak lebih dan tidak kurang, pertengahan, keadilan, atau seimbang.
Lebih lanjut, dalam Seminar Internasional bertema “Menolak Islamophobia Melalui Konsep Islam Wasathiyyah” yang digelar oleh Jakarta Islamic Center, Prof Dede mengatakan bahwa dalam ranah keagamaan wasathiyyah dipahami sebagai ajaran agama yang berada di pertengahan.
“Wasathiyyah is understanding religious doctrine on the middle way, namely understanding that is neither extreme to the right nor extreme to the left,” paparnya. (Rabu, 26/10/2022)
Baca Juga: Memahami Islam yang Wasathi
Konsep Wasathiyyah dalam Menghadapi Kelompok Ekstrim Kanan dan Ekstrim Kiri
Ekstrim kanan adalah kelompok yang memahami Islam secara literal dan tidak kontekstual sehingga mudah mengkafirkan orang.
Sebaliknya ekstrim kiri adalah kelompok liberal atau sekuler yang hanya melihat Islam secara kontektual saja dan menolak tekstualitas wahyu.
Berdalih atas modernisasi kelompok liberal dan sekuler sering melegalkan beberapa budaya negatif sebagai budaya Islam yang baru seperti pernikahan beda agama yang sesungguhnya dilarang dalam ajaran Islam.
Menurutnya, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri mengancam masyarakat dengan membuat orang merasa terhakimi.
“Thus, in the perspective of moderate muslim, extreme to the left is a danger religious thinking as extreme to the right. So, for being a moderate muslim, all young generation of muslim society in Indonesia, should be avoiding both extreme to the right and extrem to the left,” terangnya.
Kemunculan Islamophobia di Indonesia, masih menurut Prof Dede, berawal dari paham kelompok Islam yang berdakwah melawan segala tindakan yang menyimpang dengan jalan kekerasan sehingga mudah untuk mencela pihak lain yang melanggar ajaran agama, termasuk pihak pemerintah atau yang berkuasa.
Celaan dan tuduhan yang mereka lontarkan kepada pemerintah dan orang-orang yang bertentangan dengan paham mereka ini membuat mereka dilabeli dengan kelompok radikal.
“And that is the point that will cause of phobia amongs the society.”
Bersamaan dengan hal tersebut kelompok liberal dan sekuler menyebarkan isu negatif dan mengkampanyekan phobia kepada Islam.
Namun, pemerintah saat ini hanya fokus menindak kelompok yang dianggap radikal daripada kelompok liberal, “But, government today is only focusing on reducing radicalism instead of liberalism,” terang Prof Dede.
Ia mengingatkan pemerintah Indonesia harus bisa menjaga stabilitas masyarakat di Indonesia, membangun kerjasama yang damai, dan mengurangi perselisihan dengan mengontrol kelompok ekstrim kanan dan kiri yang menjadi alasan mendasar munculnya keributan di masyarakat.
Dalam seminar tersebut Prof Dede juga menjelaskan empat indikator moderasi beragama yang ditetapkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, serta penerimaan terhadap budaya lokal.
Untuk poin pertama yaitu komitmen kebangsaan, Prof Dede menyebutnya sebagai indikator penting karena beberapa kelompok masyarakat masih berupaya merubah filosofi dan prinsip negara dari Pancasila kepada yang lain, baik merubah menjadi Khilafah maupun Ekasila atau Trisila.
Oleh karena itu ia meyakinkan pemerintah agar berkomitmen menjaga prinsip dasar negara tersebut. [Ln]