ChanelMuslim.com-Program Imunisasi Nasional Tahap II akan mulai dilakukan Kementerian Kesehatan pada bulan Agustus dan September 2018 mendatang. Berkaca pada pelaksanaan program ini tahun lalu, ada tiga hal yang harus diperbaiki pemerintah sebelum menggelar kembali Program Imunisasi Measles dan Rubella (MR) Nasional Tahap II ini di 28 provinsi di luar Jawa.
Founder Komunitas Halal Corner, Aisha Maharani menyebutkan tiga fokus yang belum terselesaikan adalah prosedur teknis dan edukasi tentang imunisasi oleh nakes, status kehalalan vaksin, dan juga tindak lanjut korban KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi).
“Pemerintah seharusnya memberikan prosedur teknis kepada nakes agar memberikan edukasi kepada masyarakat sebelum melakukan imunisasi. Nakes seharusnya memperhatikan kondisi si anak sebelum diimunisasi. Bagaimana kesehatan anak, adakah riwayat penyakitnya, juga menjelaskan kepada masyarakat tentang imunisasi secara menyeluruh,” jelas Aisha kepada ChanelMuslim.com, Jumat (13/7/2018).
Kenyataannya, lanjut Aisha, kebanyakan Nakes tidak melakukan prosedur tersebut dan melakukan program imunisasi sekadar memenuhi target 80% dari Pemerintah.
“Seharusnya cek kesehatan dulu, adakah riwayat alergi, kondisi kesehatan bagaimana, apakah orang tua memahami tentang imunisasi dan lain-lain, intinya Nakes mengedukasi terlebih dahulu sehingga KIPI bisa diminimalisasi,” tambahnya.
Selain itu, status kehalalan vaksin hingga kini juga belum pasti. Meski Kementerian Kesehatan dan PT Biofarma mengatakan sertifikasi halal vaksin MR sedang berproses, namun hingga kini belum ada bukti sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun pernyataan dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Dr Fidiansjah, perwakilan dari Direktur Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan mengatakan sertifikasi halal vaksin akan diperoleh dalam waktu dekat.
“Jadi jangan dibilang belum (bersertifikasi halal), sudah dan sedang berproses. Hasilnya memang belum mendapatkan pengesahan iya, tapi insyaallah dalam waktu dekat, kami katakan tadi sertifikasi sudah bisa kami selesaikan,” ujar Fidiansjah, usai konferensi pers Seminar dan Diskusi Panel Imunisasi dalam Pandangan Islam di Jakarta, ditulis liputan6.com (10/9/2017).
Senada dengan Kemenkes, PT Biofarma selaku penyedia vaksin juga mengatakan pihaknya sedang memproses sertifikasi halal.
“Kami sudah mulai meregistrasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sudah mulai beberapa tahap, training dari tahun 2016,” kata Novilia Sjafri Bachtiar, Kepala Divisi Surveilens dan Uji Klinik Biofarma pada acara Media Workshop yang bertema Towards a Leading Lifescience Company di Cirebon, pada Rabu (7/2/2018) dilansir Kompas.com.
Sementara itu, merujuk pada tahapan sertifikasi LPPOM MUI, ada 8 tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikat halal, yaitu sebagai berikut.
1. Memahami persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan SJH (Sistem Jaminan Halal)
2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)
3. Menyiapkan dokumen sertifikasi halal
4. Melakukan pendaftaran sertifikasi halal (upload data)
5. Melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad sertifikasi
6. Pelaksanaan audit
7. Melakukan monitoring pasca audit
8. Memperoleh Sertifikat halal
Setelah registrasi yang dilakukan PT Biofarma, masih ada beberapa tahapan lagi untuk mendapatkan sertifikat halal.
Artinya, vaksin MR yang merupakan salah satu produk PT Biofarma belum bisa disebut halal jika baru sampai tahap registrasi.
Aisha menegaskan, dari sekian banyak vaksin yang beredar, baru vaksin meningitis yang telah bersertifikat halal. Ia bersama beberapa komunitas mengadukan hal tersebut ke Komisi Fatwa MUI.
“Aspirasi ini kami salurkan melalui KF MUI sebagai lembaga yang diakui otoritatif dan dipercaya umat, terutama terkait masalah kehalalan produk vaksin yang digunakan dan soal KIPI yang terjadi,” tuturnya saat pertemuan dengan KF MUI, (22/2/2018).
Berkenaan dengan KIPI, Aisha memiliki catatan tersendiri bagaimana pemerintah kurang mewadahi pengaduan korban KIPI.
“Di negara lain, korban KIPI mendapat santunan dari Pemerintah. Kalau di sini, justru diintimidasi bahkan kasusnya sebisa mungkin diredam,” tandasnya.
Selain 3 PR (pekerjaan rumah) tersebut, Aisha juga menyayangkan mengenai kasus sekolah-sekolah yang mewajibkan peserta didiknya untuk imunisasi bahkan ada ancaman dikeluarkan dari sekolah jika tidak mengikuti program tersebut.
Dilansir idai.or.id pada 30 April 2018, pada kurun waktu tahun 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak yang belum mendapat imunisasi dan imunisasinya tidak lengkap. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, beberapa alasan yang menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi di antaranya; takut panas, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk, sering sakit, dan tidak tahu tempat imunisasi.
Di lain pihak, berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, cakupan imunisasi dasar bagi bayi usia 0-11 bulan pada tahun 2017 mencapai 92,04% (dengan target nasional 92%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa program imunisasi telah mencapai target, namun dengan catatan terjadi penambahan kantong dengan cakupan di bawah 80% dan cakupan antara 80-91,5%.
Sementara itu, angka cakupan nasional imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib pada tahun 2017 mencapai 63,4% (target 45%) dan campak 62,7%.
Terlepas dari data tersebut, masyarakat berharap, Kementerian Kesehatan tak hanya mengejar target ketercapaian cakupan imunisasi tapi juga menyelesaikan persoalan yang mengikutinya. [ind]