KETIKA orangtua memutuskan untuk melepas anak “merantau” ke pesantren, ternyata yang lebih perlu disiapkan adalah orangtuanya. Menyiapkan diri untuk melepaskan anak jauh dari pengawasan matanya.
“Duh Mah, ini anak bagaimana nanti di pesantren. Papah khawatir sama makannya. Di rumah makannya kan banyak banget.” Begitu kata seorang ayah. Lalu mari kita simak perbincangan seorang ibu dan anaknya.
“Abang, anak laki-laki itu harus berani keluar rumah. Mama nggak pernah takut buat pisah sama abang kalau itu buat nambah keshalehan abang,” kata si Ibu.
“Tapi Bun, Abang maunya deket sama Bunda,” jawab anaknya sambil memeluk bundanya.
Hati orangtua mana yang bisa tahan mendengar rengekan manja anaknya seperti ini. Maunya dipeluk terus. Belum lagi pikiran khawatir persoalan makannya, tidurnya, temannya, ustadz atau ustadzahnya atau persoalan betah dan tidaknya.
Baca juga : 4 Tugas Ibu Saat Anaknya di Pesantren
Melepas Anak “Merantau” ke Pesantren
Mari kita renungi kisah Imam Syafi’I yang sejak kecil diantar ibundanya merantau untuk menggali ilmu pada ulama-ulama ternama.
Imam asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan kecerdasan dan kata-kata mutiara yang penuh hikmah.
Buktinya, beliau mampu menyusun kata-kata mutiara yang mendalam dalam bait-bait syair. Syair-syair beliau dibukukan dan dinamai Diwan asy-Syafi’i.
Di antara syair beliau yang sangat baik kita renungkan maknanya adalah nasihat beliau agar seseorang merantau, meninggalkan zona nyamannya menuju wilayah baru, suasana baru, pengalaman baru, dan berkenalan dengan orang-orang baru pula. Nasihat tersebut disusun dalam bait syair berikut ini,
Merantaulah
Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan hidup asing (di negeri orang)
Merantaulah
Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan)
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang)
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya
Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni
(Diwan al-Imam asy-Syafi’i)
Dan Buya Hamka juga berkata tentang kehidupan anak lelaki,
“Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang. Hidupnya ialah untuk berjuang. Jika perahunya telah dikayuh ke tengah, ia tak boleh surut pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarlah layer robek, Itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang” -Buya Hamka-
Ayah Bunda yang shalih dan shalihat, melepas anak merantau ke pesantren memang sungguh berat tapi ini lebih karena demi kebaikan mereka. Apalagi untuk anak lelaki yang kelak menanggung tanggung jawab untuk keluarganya dan garis keturunannya, yaitu bukan sekedar mencari nafkah tapi menegakkan keimanan pada garis keturunannya itu.
Ayah bunda berbahagialah. Doakan mereka, semoga hatinya damai dan otaknya cemerlang. Semoga jiwanya bergerak menuju Allah dan jasadnya tangguh melangkah untuk masa depan yang lebih gemilang. [MRR]