ILMU padi adalah simbol orang alim yang tawadhu. Semakin berisi, semakin merunduk.
Imam Nawawi Al-Bantani merupakan salah seorang ulama Indonesia yang berkelas internasional. Jam terbang keilmuannya bisa dibilang lebih banyak di luar daripada di dalam negeri.
Hal itu bukan keinginannya pribadi. Melainkan, karena tekanan dari pemeritah kolonial Belanda yang mempersulit dakwah ulama asli Banten ini di abad ke-18. Persis bersamaan dengan masa perjuangan Pangeran Diponegoro di tempat yang berbeda.
Ayah dari tiga putri ini belajar dan mengajar di Mekah, Mesir, Suriah, hingga Turki. Sebuah perjuangan dakwah yang luar biasa di sarana dakwah era abad 18 itu. Sedemikian besarnya penghormatan dunia Islam pada beliau, Imam Nawawi juga dinobatkan sebagai salah seorang Imam Masjid Al-Haram Mekah.
Alkisah, suatu kali Imam Nawawi sedang dalam perjalanan untuk tujuan dakwah ke suatu tempat. Ia dibantu oleh seorang muridnya dengan mengendarai seekor unta.
Meski sebagai guru, Imam Nawawi Al-Bantani tidak melupakan kerendahan hatinya. Ia meminta agar keduanya secara bergantian naik unta. Kadang Imam Nawawi yang naik, muridnya yang berjalan kaki, kadang pula sebaliknya: Imam Nawawi yang berjalan kaki.
Sayangnya, tepat di lokasi daerah tempat Imam Nawawi harus mengajar, ia yang bergiliran jalan kaki. Sementara, muridnya yang naik unta.
Orang banyak yang sudah menanti langsung menyambut. Mereka mengira orang yang menaiki unta sebagai Imam Nawawi. Mereka menyambutnya luar biasa.
Sang murid kebingungan mau bilang apa. Karena orang banyak sudah terlanjur menganggapnya sebagai sang guru, membawanya, dan mempersilakan duduk di tempat kehormatan.
Dengan kerendahan hati, Imam Nawawi hanya tersenyum ringan sambil memperlihatkan diri sebagai sosok ‘asisten’. Ia tidak meralat, apalagi memprotes. Ia membiarkan saja ‘kekeliruan’ itu berlangsung.
Dan, mulailah orang banyak mempersilakan ‘sang imam’ untuk menyampaikan dakwah. Meski sempat kikuk, sang murid tak kehabisan akal.
Ia mengatakan, “Saya persilakan asisten saya untuk menyampaikan kajian lebih dahulu.”
Imam Nawawi pun tersenyum dengan ‘kecerdasan’ muridnya. Dan, ia pun menyampaikan kajian kepada orang banyak yang sudah menanti.
Setelah selesai, orang-orang pun mengatakan, “Masya Allah, asistennya saja sehebat ini. Bagaimana gurunya?” Tapi akhirnya, kekeliruan itu pun diluruskan oleh sang murid.
**
Ilmu dan amal itu biasanya selalu selaras. Semakin tinggi ilmu keislaman seseorang, semakin bagus amalnya: akhlaknya, ibadahnya, dan jihadnya.
Berbeda jika ilmunya sekadar polesan, akan muncul ketidakselarasan antara status keilmuannya dengan amal nyatanya.
Raihlah ilmu untuk memperbagus amal diri, bukan sekadar mempercantik polesan citra diri.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama…” (QS. Fatir: 28) [Mh]