SESAL Pedih Seorang Sarjana, oleh ArtaAbuAzzam
Namanya Manshur Fahmi. Gelarnya mentereng: Doktor bidang filsafat dari Universitas Sorbonne, Paris, Perancis. Masa mudanya dipenuhi semangat yang menggebu-gebu dalam meraih titel akademik.
Di Sorbonne, ia dibina oleh para orientalis. Penelitiannya tentang “Kedudukan Perempuan dalam Islam” memantik kegaduhan publik, terutama di kalangan ulama Mesir. Dalam penelitiannya, ia ingin membuktikan betapa buruknya perlakuan Islam terhadap perempuan, bahkan menulis cerita yang melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai seorang bertitel doktor dari salah satu kampus ternama di dunia, ia merasa bangga dengan hasil penelitiannya, tak peduli orang menganggapnya kontroversial dan menyimpang. Ia melakukan banyak polemik sengit dengan ulama-ulama Mesir.
Sesal Pedih Seorang Sarjana
Sampai tiba pada satu kesempatan yang membawa dirinya berhadapan dengan Grand Syaikh Al-Azhar, Hassunah bin Abdullah bin Hasan An-Nawawi Al-Hanafi Al-Azhari (1255-1343 H/ 1839-1925 M), Syaikhul Azhar ke-23. Sebagai Grand Syaikh, Hasunah An-Nawawi sangat disegani dan dihormati. Jiwanya lapang dengan pembawaan yang lembut.
“Benarkah Anda yang menulis tentang kedudukan perempuan dalam Islam, sehingga banyak orang menyebut Anda mengingkari agama?” Tanya Syaikh Hasunah.
“Iya, benar,” jawab Manshur Fahmi.
“Pernahkah Anda membaca Kitab Suci Al-Qur’an dan kitab hadits Al-Bukhari?” kata Syaikh.
“Kalau belum, bacalah…” ujar Syaikh lagi.
Betapa terpukulnya ia mendengar ucapan Grand Syaikh Al-Azhar tersebut. Setelah pertemuan itu, ia kemudian beri’tikaf, tenggelam dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang ada dalam Kitab Al-Bukhari. Ia membaca, mengkaji, dan merenungi apa yang ada dalam Kitab yang seharusnya menjadi rujukan dan panduan hidup seorang muslim.
Setelah tenggelam dalam kekhusyukan bersama Al-Qur’an dan Kitab Al-Bukhari, ia berujar, “betapa bodohnya aku sampai tak mempelajari kitab itu sebagai sumber agama dan sejarahnya.”
Setelah lama mengkaji dan merenung, ia mengatakan, “Maka tak ada jalan lain bagiku daripada bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulnya!”
Demikianlah perjalanan spiritual dan intelektual Prof. Manshur Fahmi. Kisah ini diceritakan oleh Abdul Rahman (A.R) Baswedan, tokoh perintis kemerdekaan, yang pada tahun 1947, bersama Haji Agus Salim pernah bertemu dengannya. “Setelah mempelajari Islam dari sumber pokoknya, bertemulah dia dengan kebenaran!” Tulis A.R Baswedan.
Setelah itu, Prof.Dr Manshur Fahmi menjadi orang terdepan dalam membela ajaran-ajaran Islam yang diserang oleh pemikiran-pemikiran orientalis Barat. Pemikirannya berbalik 180 derajat; dari yang tadinya benci terhadap ajaran Islam, menjadi pembelanya yang gigih. Ia membentuk organisasi Syubbanul Muslimin (Himpunan Pemuda Islam). Kematiannya ditangisi oleh rakyat Mesir, karena kegigihannya sikapnya.
“Memang Almarhum telah melakukan suatu kesalahan besar sebagai sarjana, dalam karya ilmiahnya dulu. Tetapi dia sebenarnya telah jadi korban promotornya, seorang orientalis, mahagurunya, yang di antara para orientalisten memang terkenal dengan pembahasan-pembahasannya yang bertentangan dengan, dan anti-Islam…” ujar sahabat dari Prof. Manshur.
Setelah ‘pertaubatannya’ dari pemikiran liberal, Prof. Manshur memang banyak menulis dan memberikan kajian-kajian seputar pemikiran keislaman. Para muridnya menjulukinya dengan sebutan “Ahli Filsafat yang Filosof”.
A.R Baswedan yang heran dengan sebutan itu kemudian bertanya pada salah seorang muridnya,
“Bukankah seorang ahli filsafat otomatis seorang filosof?”
Muridnya menjawab, “Tuan tahu, banyak ahli filsafat, mahaguru, yang mungkın lebih luas dan lebih dalam ilmunya dalam filsafat, namun mereka itu bukan filosof dalam kehidupan dan sikap hidupnya. Filsafat hanya hidup dalam kepalanya, tapi mati dalam hatinya. Seperti juga banyak ahli hukum yang tidak mencerminkan ilmunya dalam kehidupan dan sıkap hidupnya, “ ujar murid Prof. Manshur.
Banyak orang yang, “Dalam teori ulung, namun dalam kehidupan prive (pribadi) dan kemasyarakatan megap-megap!” tambahnya lagi.
“Maka setelah almarhum (Prof. Manshur) kembali ke sumber utama tadi, menuruti nasihat Syaikh Al-Azhar, dan yang demikian itu adalah justeru tuntutan tanggung jawab seorang sarjana, bertemulah dia dengan kebenaran yang mantap dalam pikiran dan hatinya,” kenang A.R Baswedan.
“Kebenaran yang menjadi tujuan tiap- tiap sarjana, dan dengan demikian ia telah berbuatlah apa yang mestinya diperbuat oleh seorang sarjana, yang katanya mau berlaku secara ilmiah,” tambahnya lagi.
A.R Baswedan menulis, “orang tidak tahu, betapa gerangan dia telah menderita batin sepanjang hidupnya, sesal pedih yang mengiris-iris hatinya dan tak pernah kunjung padam, setiap kali dia teringat akan kecorobohan ilmiahnya…”.
Namun begitu, karena pertaubatannya kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, dan menjadi pembela ajaran Islam yang gigih di kemudian hari, maka Prof. Manshur Fahmi dapat menghadap Allah subhanahu wa ta’ala dengan jiwa yang tenang dan hati yang bersih.
Tajuk postingan, “Sesal Pedih Seorang Sarjana” adalah judul yang ditulis oleh A.R Baswedan di Majalah Gema Islam No. 29 Tahun II, 1 April 1963/ Dzulqadah 1384, yang semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua agar tidak tersesat dalam pemikiran yang menyimpang.
Sebagai seorang muslim, janganlah kita silau dengan peradaban Barat dan doktrin-doktrin orientalis, kemudian minder dengan keunggulan pedoman hidup yang kita miliki.
Dalam berpikir dan bertindak, jadikalanlah Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman, agar jangan sampai kita menyesal, merasakan pedih berada dalam kegoncangan batin karena jauh dari keduanya. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Kisah Jamaah Haji yang Saling Peduli dan Saling Menjaga