Oleh: Asma Nadia
ChanelMuslim.com- Sebuah puisi seharusnya menjadi salah satu cara kita mendekatkan diri pada Sang Pencipta, khususnya bagi seorang Muslim. Semampunya setiap karya yang dicipta itu diniatkan sebagai bagian ibadah.
Puisi menjadi rangkaian kata indah yang mewakili ekspresi jiwa sebagai pesan menyejukkan, dengan pilihan diksi yang estetik.
Puisi atau tulisan apa pun tidak selayaknya mengobarkan kebencian terhadap kemanusiaan, melontarkan hinaan, terlebih untuk sesuatu yang suci dan mulia.
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercerita
Berbaur cakrawala
Begitu kata Taufik Ismail dalam karyanya “Dengan Puisi Aku”.
Tapi, bukankah puisi juga harus mewakili kesedihan, kedukaan, juga kesengsaraan?
Tentu saja, puisi tidak melulu tentang keindahan.
Syair-syair puisi juga bagai sebuah pisau yang membedah penyakit sosial, menghujat kemungkaran, dan kebatilan.
Akan tetapi, ketajaman puisi tidak seharusnya dijadikan pembenaran untuk merendahkan, mencaci, mencemooh, atau menghina. Tidak untuk menghina kepercayaan, kebersamaan, bahkan sebuah perbedaan.
Terlebih jika yang dilecehkan menyangkut keyakinan, ajaran yang suci termasuk panggilan yang mulia dalam Islam, seperti azan. Lantunan yang menurut Morgan Freeman dalam program di kanal National Geographicsebagai salah satu lantunan terindah di muka bumi.
“One of the most haunting and beautiful sounds in the world, is the muslim call to prayer.”
Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah salah satu tugas umat, puisi bisa berperan sebagai alat keduanya. Menyerukan kebaikan dengan pesona, dan menantang kemungkaran sekeras auman singa.
Dengan puisi aku mengutuk…
Napas zaman yang busuk…
Dengan puisi aku berdoa…
Perkenankanlah kiranya
Masih dari Taufik Ismail, di karya yang sama.
Saya tahu, sebagian mungkin berkata, jangan kaitkan puisi dengan agama atau biarkan puisi sebagai seni yang mengalir apa adanya. Seni adalah untuk seni.
Akan tetapi, sesungguhnya ide membiarkan seni untuk seni tanpa ada misi ibadah, sama sekali bukan pemikiran baru.
Filosofi seni bebas nilai sudah ada sejak ribuan tahun lalu, hingga akhirnya seni bergerak bebas bukan untuk kebaikan justru mengundang manusia ke liang kehancuran.
Bagi umat Islam, sejak 1.400 tahun lalu, Allah telah mengingatkan para penyair untuk berhati-hati dengan karyanya. Bahkan, Allah memberi nama sebuah surah dalam Alquran, Asy Syuara yang berarti para penyair, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang dialamatkan untuk para penyair sebagai bentuk penghargaan dan pengakuan, betapa profesi atau kemampuan penyair sangat memiliki pengaruh besar pada investasi peradaban. Sebab tak kurang, setan pun sangat menyadari kekuatan profesi ini hingga menjadikannya poros depan kemungkaran.
Dalam surah asy-Syu’ara’ ayat 221-227 Allah berfirman:
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (-nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali."
Dalam konteks apa pun, puisi sebagai karya sastra merupakan pisau bermata dua. Bagi putra bangsa yang bijak dan peduli akan negeri mereka yang bineka tentu lahir rangkaian kata yang mengasah kebaikan dan menguatkan atmosfer kebersamaan.
Hanya mereka yang kehilangan sensitivitas dan semangat kebangsaan yang akan menggunakan pilihan-pilihan kata untuk menyakiti umat tertentu, sekaligus merobek persatuan yang telah dijahit dengan genangan air mata dan darah para pejuang. (Mh/Sumber: Republika.co.id)
Sumber: http://m.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/04/07/p6sroa440-sebuah-puisi-seharusnya