ARTIFISIAL atau artificial arti bahasanya buatan, palsu, bukan sebenarnya. Mirip dengan yang asli. Jangan jadikan yang artifisial menjadi asli dan yang asli menjadi artifisial.
Dunia modern saat ini menginginkan segalanya serba instan, cepat tanpa ruwet. Para pebisnis pun menangkap hal itu dengan menyediakan yang artifisial, produk buatan yang mirip dengan aslinya.
Misalnya, mie instan. Begitu banyak merek mie instan dengan berbagai varian rasa. Nilai persaingannya satu: menawarkan rasa artifisial yang sangat mirip aslinya.
Ada mie instan rasa soto, rasa rendang, rasa kari, rasa ayam, rasa bakso, dan lainnya. Siapa yang bisa menyuguhkan rasa yang lebih mirip aslinya, dialah yang akan menang.
Jadi, jangan bayangkan kalau di pabrik mie instan itu ada olahan aneka soto, rendang, ayam, bakso, dan lainnya. Karena mereka hanya memproduksi rasa miripnya. Yang mirip tentu tidak akan pernah asli.
Hal yang sama juga berlangsung di dunia olahan minuman. Ada rasa jeruk, rasa apel, dan rasa-rasa lainnya. Dan jangan bayangkan kalau di pabrik itu banyak jeruk yang diolah sebagai bahan minuman itu.
Artifisial juga masuk dalam dunia penampilan diri. Mulai dari aneka bedak, lipstik, cream pemutih, dan lainnya.
Disebut artifisial karena tidak terjadi sesungguhnya. Karena itulah iklan produknya selalu menyebut, ‘Anda akan terlihat cantik.’ Atau, ‘Anda akan tampak putih.’ Dan lainnya. Jadi, efeknya juga artifisial: terlihat cantik dan tampak putih. Bukan cantik dan putih sesungguhnya.
Itulah mungkin hikmahnya kenapa Allah mewajibkan wanita menutup aurat kecuali wajah dan telapak tangan: agar yang artifisial tidak dominan atau hampir menjadi asli. Karena jika tidak menutup aurat, akan begitu banyak tuntutan untuk menggunakan artifisial lebih besar dan banyak lagi.
Apa dampaknya jika salah proporsional tentang artifisial? Di antaranya adalah seseorang akan teralienasi dengan dirinya sendiri. Dia seperti menjadi orang lain yang dijadikan objek obsesinya.
Objek obsesi bisa beragam tergantung lingkungan yang disukai. Bisa artis, tokoh idola, sosok imajinasi, atau lainnya. Yang jelas, ia tampil menjadi sosok yang bukan dirinya sendiri.
Bagaimana jika artifisialnya bukan wajah atau kulit, melainkan behavior atau perilaku? Jika target obsesinya baik, maka itu akan menjadi baik. Tapi jika sekadar yang top atau idola saja, maka hasilnya akan sungsang.
Kenapa? Karena mereka yang disebut idola atau orang ngetop, jika tanpa agama, adalah juga produk dari artifisial dari jiplakan sosok yang lain. Jadi, akhirnya akan menjadi jiplakan kuadrat: yang menjiplak dijiplak oleh yang berikutnya.
Karena itu, jadilah diri sendiri. Hindari segala yang artifisial semaksimal mungkin. Begitu pun dengan makanan dan minuman. Yang artifisial hanya rasanya saja, tapi tidak pada khasiatnya. Bahkan dampak penyakitnya begitu beragam.
Teladanilah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarga beliau. Mulai dalam penampilan, perilaku, makanan dan minuman, dan lainnya. Itu bukan artifisial. Tapi rasa dan tampilan yang sebenarnya. [Mh]