SHALAT itu penyuci jiwa kita. Jika lima kali sehari jiwa disucikan, rasanya tak akan ada kotoran yang tersisa.
Peristiwa Isra Mi’raj mengingatkan tentang nilai ibadah shalat. Banyak pelajaran dari peristiwa bersejarah itu.
Pertama, shalat merupakan satu-satunya ibadah yang perintahnya disampaikan langsung dari Allah subhanahu wata’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berbeda dengan ibadah lain yang perintahnya melalui Malaikat Jibril alaihissalam. Ini menunjukkan bahwa shalat sebagai media komunikasi langsung antara seorang hamba kepada Allah. Tanpa perantara.
Sehingga kualitas ibadah shalat ditentukan seperti apa ‘kedekatan’ kita dengan Allah. Shalat bisa sebagai komunikasi tanpa jarak, sebagai wujud ketundukan, dan sebagai media meminta secara khusus.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan, “Keadaan yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah saat dalam sujudnya. Saat itu, perbanyaklah berdoa.” (HR. Muslim)
Bukan sekadar dalam kuantitas doa. Tapi justru dalam kualitasnya. Doa yang keluar bukan hanya dari lisan, tapi juga merambat dari hati yang paling dalam.
Tunjukkan keadaan hati yang menunjukkan bahwa kita bukan sekadar menjalankan perintah untuk berdoa. Tapi mengungkapkannya dengan penuh kesungguhan.
Silakan dengan menangis jika memungkinkan. Persis seperti anak kecil yang merengek pada ibunya.
Kedua, shalat sebagai rahmat atau kasih sayang Allah kepada kita, dalam proses turunnya hingga dalam eksistensinya.
Dalam Isra Mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung menerima perintah shalat dengan jumlah waktu seperti saat ini. Melainkan, lima puluh waktu yang akhirnya teringkas menjadi hanya lima saja.
Dan lima waktu itu pun benar-benar telah disesuaikan oleh Allah sesuai dengan dinamika rutinitas hidup sehari-hari kita.
Perhatikan tentang waktu-waktunya. Waktu Subuh menyesuaikan awal aktivitas kita di saat fajar. Zuhur saat umumnya kita sedang rehat dari aktivitas. Ashar di saat jiwa dan fisik membutuhkkan penyegaran. Magrib ketika aktivitas kerja mulai bergeser ke rumah. Dan Isya saat malam mulai menyapa.
Setelah malam membentang, tak ada lagi waktu wajib shalat. Seolah Allah subhanahu wata’ala menyesuaikan itu sebagai waktu istirahat total kita. Hingga, waktu fajar kembali datang.
Durasi shalat pun hanya sebentar. Tidak akan menyita waktu sibuk kita. Tidak akan mengganggu dinamika aktivitas sehari-hari kita. Tidak lebih dari hanya lima hingga sepuluh menit saja.
Coba geser paradigma shalat kita. Ia bukan kewajiban yang membebani. Melainkan kebutuhan fisik dan jiwa yang harus kita penuhi.
Di dalam sujud itulah momen yang paling penting untuk kita bisa meminta apa saja. [Mh]