ChanelMuslim.com – Peristiwa isra’ mi’raj menjadi peristiwa yang sering dipertanyakan kebenarannya oleh orang-orang yang ragu terhadap Islam, bahkan tak jarang oleh umat Islam sendiri.
Dalam surah Al-Isra’ ayat satu, Allah telah membuka firman-Nya dengan kalimat yang menghilangkan keraguan itu:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al Isra:1)
Ayat ini dibuka dengan lafadz سُبْحَانَ (Maha Suci) sebagai isyarat bahwa peristiwa yang akan diceritakan adalah peristiwa yang luar biasa, di luar kebiasaan manusia.
Baca Juga: 7 Lapisan Langit dalam Isra’ Mi’raj Rasulullah
Al-Isra’ 1: Kebenaran Peristiwa Isra’ Mi’raj
Lafadz tersebut juga menandakan kesucian Allah dari sifat-sifat yang setara dengan makhluk-Nya. Sebagai contoh, meskipun Allah bisa mendengar tapi pendengarannya tidak sama dengan manusia.
Demikian pula perbuatan Allah tidak sama dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu tidak ada satupun sifatnya yang setara dengan sifat makhluk-Nya.
Maka dari itu pada kalimat selanjutnya أَسْرَى بِعَبْدِهِ (memperjalankan hamba-Nya), Allah tidak menyebut dengan سَرَى عبده (hamba-Nya berjalan), untuk menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ mi’raj adalah perbuatan Allah.
Sehingga tidak patut kita mempertanyakan peristiwa ini jika kita tahu bahwa Allahlah yang membawa Nabi Muhammad dari masjidil haram ke masjidil aqsha dan menuju ke sidratul muntaha dalam semalam.
Tidak semua peristiwa dalam Islam harus dipahami dengan akal, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal ghaib ini maka cukup kita yakini dengan iman.
Ustadz Adian Husaini mengatakan bahwa sikap rasional dan kritis kerap diagung-agungkan sebagai pekerjaan akal yang tinggi.
Padahal kita tidak pernah bisa benar-benar bersikap kritis. Seperti ketika guru kita mengajarkan teori-teoris sains, bukankah kita tidak mempertanyakan kebenarannya?
Lalu pada kalimat selanjutnya Allah menggunakan lafadz بِعَبْدِهِ (hamba-Nya) untuk menunjukkan bahwa perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah perjalan jasad dan ruh.
Bukan seperti sangkaan sebagian orang bahwa Nabi Muhammad hanya melakukan perjalanan ruh sedangkan jasadnya tetap di satu tempat.
Allah menggunakan lafadz عَبْد yang artinya hamba sebagai bentuk kemuliaan orang yang telah beriman kepada-Nya. Ia mendapatkan perlakukan khusus dari Allah karena telah mengabdikan dirinya dengan penyembahan kepada Allah.
Semakin menghamba seseorang kepada Allah maka Allah akan semakin memuliakannya. Tidak seperti seorang yang menghamba (menjadi budak) bagi orang lain, semakin menghamba ia kepada orang tersebut atau majikannya maka semakin terhina dirinya.
Maha Suci Allah dari segala sifat yang serupa dengan makhluk-Nya. [Ln]