SATU mulut dua telinga menunjukkan tanda: bicara yang baik-baik, atau diam.
Kalau dirata-ratakan aktivitas kita dalam sehari, lebih banyak mana: bicara atau mendengar?
Ketika kita ingin bertemu dengan anak-anak di rumah, coba perhatikan: kita ingin mendengarkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu.
Ketika kita ingin bertemu dengan suami atau istri di rumah, coba periksa: kita ingin mendengarkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu.
Ketika kita ingin bertemu dengan teman dan sahabat, coba simak: kita ingin mendengarkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu.
Jawabannya bergantung pada kepribadian kita. Banyaknya pengetahuan atau wawasan tidak serta merta menstimulus seseorang ingin lebih banyak mengatakan daripada mendengarkan.
Sebaliknya, sedikitnya ilmu atau wawasan tidak juga menstimulus seseorang untuk lebih banyak mendengarkan daripada mengatakan.
Orang yang lebih ingin banyak mendengarkan biasanya mereka yang berempati tinggi, Ia seperti wadah yang siap menampung dan mengolahnya menjadi ekspresi empati: prihatin, memuji, atau ikut bersedih.
Tipe orang ini sangat disukai banyak orang. Ia seperti cermin yang bisa memantulkan sosok wajah di hadapannya.
Orang yang ingin lebih banyak mengatakan biasanya mereka yang berempati minim. Yang dipersepsikan dari dirinya terhadap orang di hadapannya adalah ‘pelampiasan’.
Itulah kenapa, biasanya yang lebih banyak dikatakan seseorang adalah tentang keadaan subjektivitas dirinya, atau keadaan orang lain melalui sudut pandang dirinya.
Bisa dikatakan, dasarnya lebih banyak pada ego, bukan pengetahuan. Lebih banyak tentang ungkapan perasaan daripada ilmu atau wawawan. Kalau pun nyerempet pada ilmu dan wawasan, biasanya tak jauh dari tafsiran.
Bayangkan jika dua atau tiga orang bertipe ini saling bercakap-cakap. Yang pertama bicara tentang A, yang kedua bicara tentang B, dan yang ketiga bicara tentang C. A, B, dan C adalah tema tentang diri masing-masing. Maka, akan saling tidak nyambung.
Masalah ini pula yang kerap menjadikan dua pihak yang berselisih pendapat sulit mendapatkan titik temu. Bukan karena pendapatnya yang berbeda. Tapi, karena keduanya bertipe sama: ingin lebih banyak mengatakan daripada mendengarkan.
Ilmu dan akhlak akan mengantarkan seseorang untuk lebih suka mendengarkan daripada mengatakan. Dan karakter kepemimpinan akan menggiring seseorang untuk menjadi mereka yang paling terakhir mengatakan.
Orang bijak mengatakan, “Lebih baik Anda dipersilakan untuk bicara daripada diminta untuk diam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati, “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari) [Mh]