BAGAIMANA seorang muslim menanggapi fatwa MUI tentang boikot produk pro zionis? Ramai di media sosial terkait pertanyaan dari beberapa orang tentang fatwa MUI berkenaan boikot produk-produk yang dikeluarkan perusahaan yang diduga kuat pendukung zionis.
Permasalahan ini dijawab oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan berikut ini.
Hukum asal jual beli adalah mubah, baik produk dari muslim dan non muslim. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dulu pernah beli makanan (gandum) ke Yahudi. (HR. Bukhari)
Namun, hukum asal ini dapat berubah dengan adanya kondisi istitsna’iyah (pengecualian), seperti dalam kondisi perang.
Melarang jual beli produk-produk yang ditengarai berpihak kepada Zionis, diposisikan sebagai strategi perang. Bukan karena zat produk itu yang haram.
Misalnya, jika ada sebuah warung, yang diketahui dimiliki oleh seorang penjahat yang hasil warungnya dipakai untuk kejahatannya.
Lalu, masyarakat memboikot warung tersebut agar penjahat itu menghentikan kejahatannya. Pemboikotan ini dibenarkan.
Haram bagi kita membeli barang di warung tersebut, bukan karena warungnya menjual barang-barang haram, tapi beli di situ sama juga kerja sama dengan pelaku kejahatan.
Selain itu, Fatwa Boikot juga bagian dari strategi perjuangan untuk menekan pendapatan ekonomi Zionis, seperti perang tahun 1973, ketika Saudi memboikot minyak ke Israel dan dunia Islam kompak memboikot mereka, akhirnya mereka kalah karena pesawatnya tidak bisa beroperasi.
Maka hendaknya kita ikut menyambut fatwa ini, yang sebenarnya bukan fatwa baru.
baca juga: Seruan Boikot Kurma Israel Makin Ramai
Bagaimana Muslim Menanggapi Fatwa MUI tentang Boikot Produk Pro Zionis?
Fatwa boikot produk-produk zionis sudah lama disuarakan para ulama mujahid seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Wahbah az Zuhaili, Syaikh Said Ramadhan al Buthi, Syaikh Farid al Washil, Syaikh Al Albani, Syaikh Nashir as Sa’di, Syaikh Ibnu al Jibrin, dll.
Khusus barang-barang yang belum ada alternatifnya, yang tersedia hanyalah produk zionis atau pendukungnya, sementara kita pun belum bisa lepas darinya, maka itu kondisi yang dimaafkan untuk tetap memanfaatkannya sesuai kadar kebutuhan.
Allah Ta’ala berfirman:
{ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ وَأَطِيعُواْ وَأَنفِقُواْ خَيۡرٗا لِّأَنفُسِكُمۡۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ }
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghabun: 16)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Al-An’am: 145)
Sedangkan Untuk produk-produk zionis dan pendukungnya, yang dapat kita pakai untuk membantu perlawanan jihad juga dibolehkan untuk dimanfaatkan.
Misalnya, berbagai platform medsos seperti WA, FB, IG. Hal ini sama dengan memanfaatkan senjata musuh untuk melawan musuh. Tidak masalah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menerima bantuan dari Musyrikin Bani Khuza’ah untuk melawan Musyrikin lainnya.
Untuk produk yang telanjur dibeli, dan kita tidak tahu sebelumnya, silakan dipakai sampai habis dan jangan dibuang karena Islam melarang menyia-nyiakan harta.
Tapi, selanjutnya jangan beli itu lagi. Beralih ke produk yang bersih dari unsur zionis.
Sampai kapan boikot ini? Sampai Zionis lenyap dari muka bumi. Jika tidak mampu, paling tidak, sampai Palestina merdeka secara penuh, jika tidak juga, paling tidak sampai berakhir peperangan saat ini.
Lalu bagaimana dengan nasib karyawan-karyawan perusahaan yang diboikot?
Boikot ini ibarat “obat” atas sebuah penyakit. Atau seperti bedah operasi bagi badan yang sakit.
Memang pahit, sakit, melukai, dan tidak enak, tapi untuk kemenangan orang-orang tertindas apalagi saudara seiman, serta untuk bebasnya al Aqsha, maka itulah harga dan pengorbanan yang mesti kita bayar.
Hendaknya semua umat Islam ikut berperan termasuk karyawan-karyawan itu sendiri jika benar-benar mereka muslim yang mengimani betul konsep persaudaraan dan rezeki, lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala Sang Maha Pemberi Rezeki dan meyakini bahwa Allah Ta’ala akan menggantikan dengan yang lebih baik.
Rezeki bukan dari kantor dan pabrik.
Ingat, rasionalitas terhadap nasib karyawan juga harus dibungkus oleh iman kepada rezeki dari Allah Ta’ala dan ukhuwah terhadap mukmin yang dizalimi. Wallahul Musta’an! [ind]