RASULULLAH Shallallahu alaihi wa sallam memiliki kemampuan memahami budaya masyarakatnya. Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan mengenai hal ini.
عن عائشة أنها زفت امرأة إلى رجل من الأنصار فقال نبي الله-صلى الله عليه وسلم-: “يا عائشة، ما كان معكم لهو، فإن الأنصار يعجبهم اللهو”.
Dari ‘Aisyah, bahwa dia menikahkan seorang wanita kepada laki-laki Anshar. Nabi ﷺ berkata: “Wahai ‘Aisyah, kenapa tidak ada hiburan, karena orang Anshar itu suka hiburan” (HR. Bukhari no. 5162)
Beberapa pelajaran:
Pada hadis ini menunjukkan Rasulullah ﷺ memiliki kemampuan memahami budaya masyarakatnya.
Beliau bukanlah orang Anshar (Madinah), tapi Mekkah (Muhajirin), namun Beliau mengenali dengan baik budaya orang Anshar yang suka Al Lahwu (hiburan, nyanyian, permainan), dan Beliau menghargai hal itu.
Hal itu ditunjukkan oleh keheranan Beliau atas pesta pernikahan Anshar yang sepi dari Al Lahwu, padahal kaum Anshar menyukainya.
Peristiwa ini menunjukkan pentingnya bagi seorang muslim apalagi aktivis dakwah, untuk ma’rifatul maidan (mengenal lingkungan) dalam dakwahnya.
Tentu budaya yang dimaksud adalah yang baik dan positif, maka tetap menghargai bahkan ikut menjaganya. Bahkan bisa menjadikannya sebagai mimbar untuk nasyrul khair (menyebarkan kebaikan).
Ada pun budaya yang menyimpang, baik secara aqidah, ibadah, akhlak, dan pemikiran, tentu ini mesti diperbaiki dengan cara efektif dan hati-hati.
Di sisi lain, hadis ini menjadi dalil bagi para ulama bolehnya hiburan (nyanyian, permainan) yang baik-baik, pada acara yang baik-baik pula.
Baca juga: Maulid Nabi Muhammad, Ayo Kenalkan Biografi Rasulullah kepada Anak Cucu Kita
Rasulullah Memiliki Kemampuan Memahami Budaya Masyarakatnya
Imam Ibnu Baththal menjelaskan:
اتفق العلماء على جواز اللهو فى وليمة النكاح، مثل ضرب الدف وشبهه ما لم يكن محرمًا وخصت الوليمة بذلك ليظهر النكاح وينتشر فتثبت حقوقه وحرمته
“Para ulama sepakat atas dibolehkannya al-lahwu (hiburan, nyanyian, permainan) dalam pesta pernikahan, seperti memukul rebana dan semisalnya, selama tidak mengandung hal yang haram.
Dikhususkannya pesta pernikahan dalam hal lahwu bertujuan agar pernikahan menjadi nampak dan tersebar luas, sehingga dapat memenuhi hak-haknya dan kehormatannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, 7/279-280)
Hal ini sejalan dengan hadis shahih lainnya. Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ
Pada hari pernikahanku Rasulullah ﷺ datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana,
mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka menyanyikan, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)
Karena itulah, Syakh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:
فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة
Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah (syahwat). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/116)
Juga sejalan dengan hadits lainnya yg shahih. Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu katanya:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتَُذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ.
فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan REBANA dan BERNYANYI di hadapanmu.”
Rasulullah bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.”
Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya.
Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan).
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar, syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia amsih memainkannya,
ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu.
(HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)
Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ
Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)
Namun masalah nyanyian dengan musik, baik suara laki-laki maupun wanita, walau dengan isi nasyid (syair) yang baik-baik adalah perkara pro kontra dalam fiqih para ulama sejak masa salaf dan khalaf.
Ini kenyataan yang mesti diakui fakta dan eksistensinya dengan lapang dada oleh kedua pihak dengan mengedepankan adabul ikhtilaf. Wallahu a’lam wa Lillahil ‘izzah.[ind]