CATATAN perjalanan dari desa Gijduvan, Uzbekistan ini dibagikan oleh Uttiek M. Panji Astuti yang tengah melakukan perjalanan dari Samarkand ke Bukhara. Berikut cerita selengkapnya.
“Coba dengarkan suaranya. Ini adalah suara kebahagiaan,” katanya santun sambil menggerakkan cawan indah yang dipegangnya.
Terdengar suara lirih serupa dengan desau angin yang sangat indah. Semacam kolotok alias lonceng angin bambu yang ada di rumah-rumah tradisional Sunda.
Hati saya bergetar.
Bukan sekadar terpesona karena indahnya suara, tapi juga hangatnya tali persaudaraan yang diulurkan keluarga Narzullaev.
Alisher Narzullaev Aka terharu menerima buku Journey to Samarkand yang saya serahkan. Dilihatnya foto dirinya dan anaknya, juga istrinya yang sedang memanggang roti.
Alhamdulillah, hari ini Allah izinkan saya sampai di desa Gijduvan lagi. Sebuah desa yang berada di tengah perjalanan dari kota Samarkand ke Bukhara.
Keluarga Narzullaev ini istimewa. Mereka adalah keluarga pengrajin keramik sejak tujuh generasi sebelumnya. Secara turun temurun penduduk desa Gijduvan adalah para pengrajin keramik tradisional berkualitas tinggi.
Saat invasi Soviet, tempat-tempat pembuatan keramik tradisional seperti ini harus ditutup. Mereka harus alih profesi sesuai ketentuan pemerintah komunis. Ada yang dijadikan buruh tani dan sebagainya.
Keluarga Narzullaev bertahan dengan sembunyi-sembunyi. Mereka tetap memproduksi keramik, sekaligus menurunkan keahlian itu pada anak-anaknya.
Setelah Uzbekistan merdeka, usaha keluarga ini mendapat penghargaan dari Presiden Islam Karimov.
Banyak tokoh penting pernah berkunjung ke galerinya, seperti Hillary Clinton, hingga King Charles yang waktu itu masih pangeran.
“Saya akan pajang buku ini di museum saya sehingga siapapun yang datang akan melihat, saya punya sahabat di Indonesia,” katanya.
Segera saya minta Syahsod menerjemahkan, “Saya bukan sekadar sahabat, izinkan saya menjadi putri Aka yang berada di Indonesia.”
Saya melihat bulir halus di sudut mata Alisher Narzullaev Aka. Aka dalam bahasa Uzbekistan artinya Bapak.
Catatan Perjalanan dari Desa Gijduvan, Pusat Keramik Tradisional Uzbekistan
Baca juga: Uzbekistan Akhirnya Izinkan Jilbab di Sekolah
View this post on Instagram
Salah satu alasan saya memilih menulis catatan perjalanan untuk buku-buku saya, selain karena sangat terinspirasi dengan kitab Ar Rihlah yang ditulis Ibn Bathutah, bagi saya, buku catatan perjalanan bukanlah sekadar catatan perjalanan, namun juga catatan persaudaraan.
Saya bisa menuliskan kisah orang-orang yang saya temui di sepanjang perjalanan. Dari tulisan itu lalu terjalin tali persaudaraan.
Ketika Allah izinkan saya kembali bertemu dengan mereka, saya bisa tunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari buku-buku saya.
Pun dalam perjalanan bersama @muslimsafarproject kali ini. Allah perjalankan saya dengan orang-orang luar biasa, para pentadabur sejarah.
Ustaz @edgarhamas, adik yang sudah saya kenal sejak masih menjadi mahasiwa di Madinah. Tak hanya dirinya, saya juga mengenal semua keluarganya.
Oki @idahoriko dan Joice @joicesitawati owner @Muslimsafarproject yang bukan kebetulan adalah sahabat masa kecil saya.
Juga para peserta rombongan, seperti @berlianakimberley mahasiswa pascasarjana lucu yang membuat perjalanan menjadi seru, Bu @tantiyudiana yang sangat concern dengan lingkungan hidup.
@sanjar.indonesia dan keluarganya yang selalu menjadi keluarga istimewa bagi saya di negeri yang jauh ini.
Syahsod, mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, murid Sanjar yang menjadi local guide penuh dedikasi.
Saking berdedikasinya, ia tak segan turun ke dapur restoran dan membantu menghidangkan makanan.
Menawarkan barang, yang terkadang sampai membuatnya malu, karena seperti umumnya ibu-ibu Indonesia yang suka “kejam” kalau menawar.
“Apakah Ibu menjadi dosen di Indonesia? Sepertinya saya harus mendaftar di universitas Ibu untuk belajar,” katanya polos yang membuat saya tertawa.
“Ini tentang sejarah peradaban Islam, Syahsod. Tentang connecting the dot. Bukan sekadar tentang negaramu.”
Perjalanan ini adalah perjalanan untuk menyusun keping-keping sejarah yang berserak. Menyusun puzzle-nya menjadi gambar yang lebih utuh.
Bagaimana cahaya hidayah itu berkelindan dengan cahaya ilmu pengetahuan. Mengambil hikmah dan mentadaburinya.
Saya akan terus menulis catatan perjalanan, karena ini adalah catatan persaudaraan.[ind]