KAYA bukan hanya menunjukkan tingkat kesuksesan ekonomi seseorang. Kaya juga menunjukkan tingkat status sosial di masyarakat.
Ada pengamat sosial yang terheran-heran dengan sejumlah orang yang begitu hobi koleksi mobil. Jumlah mobil di garasi jauh lebih banyak dari jumlah anggota keluarga di rumah itu.
Mungkin pengamat itu lupa bahwa mobil bisa menunjukkan status sosial. Kalau mobil yang dipakai itu-itu saja, maka hal itu menunjukkan bahwa si pemilik mobil status sosialnya masih standar.
Mereka yang mobilnya lebih banyak dari jumlah anggota keluarga tentu bukan tanpa maksud. Apalagi kalau bukan ingin menunjukkan status sosial yang ia miliki.
Jadi, mobil-mobil itu digunakan untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Jika ingin ke kantor mobilnya ini, untuk ke mal mobilnya yang itu, dan untuk kondangan maka mobilnya lain lagi. Dan seterusnya.
Begitu pun dengan harga mobil. Hal ini menunjukkan bahwa mobil bukan sekadar alat transportasi. Tapi juga sebagai alat untuk menunjukkan tingkat gengsi.
Itu baru mobil. Belum tentang busana, lokasi rumah tinggal, tas, sepatu, jam tangan, perhiasan, dan lainnya.
Dalam Islam, kalau hal itu memang bersumber dari yang halal, sah-sah saja orang memiliki harta yang banyak. Dan sah pula mau seperti apa orang itu memakainya.
Tapi, lain lagi jika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Di situlah diperlukan empati. Yaitu, tidak menunjukkan kelebihan pendapatan di lingkungan yang minim pendapatan.
Kalau kita belum mampu membantu mereka, jangan tunjukkan kerendahan mereka.
Umumnya masyarakat kita memang lebih menghormati mereka dengan penampilan yang wah. Jika tamu datang dengan mobil mewah, maka tuan rumah begitu sibuk menyambut. Tapi ketika yang datang dengan bersepeda, satpam pun tak tertarik membukakan pintu.
Pernah para pengurus masjid kasak-kusuk tentang honor seorang penceramah. Hal ini bukan dipengaruhi karena isi ceramahnya, bukan pula karena gelar si penceramah. Tapi karena si penceramah datang dengan mobil merek merci terbaru.
Bayangkan jika si penceramah datang dengan motor bebek jadul, rasanya berapa pun honor yang diberikan tak perlu dirisaukan. Bayangkan, status sosial dan gengsi sudah merasuki dunia dakwah.
Perhatikan dengan keadaan rumah orang-orang kaya. Rumahnya besar, pagarnya tinggi-tinggi, dan ada sekuritinya. Dan hal itu menjadi hal lumrah di masyarakat kita.
Seolah-olah, orang-orang dan lingkungan di sekitar rumah itu begitu berbahaya. Kalau tidak ada pagar dan keamanan, orang akan bebas masuk dan mencuri.
Pertanyaannya dengan rumah-rumah seperti itu, adakah keakraban antar tetangga. Adakah persaudaraan sesama tetangga. Mereka saling menyapa saat bertemu, dan saling membawakan masakan untuk tetangga.
Rasanya, jangankan akrab dan bersaudara, saling kenal saja mungkin tidak. Bahkan mungkin, keseharian mereka kerap diliputi kecurigaan antar tetangga.
Lalu, bagaimana jika salah satu dari mereka ada yang meninggal dunia? Siapa yang akan mengurus jenazah, memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan?
Harta memang perlu untuk hidup yang layak. Tapi tidak berarti dengan harta, kita terkungkung dalam jebakan status sosial yang kita ciptakan sendiri.
Andai semua rumah tanpa pagar. Andai yang punya mobil menawarkan ke tetangganya untuk boleh dipakai. Andai kita bisa datang ke rumah tetangga kapan pun untuk sekadar mengobrol. Andai kita memahami firman Allah bahwa hanya orang beriman yang bisa bersaudara. [Mh]