HARGA beras terus mengalami kenaikan sejak sebulan terakhir ini. Ibu-ibu gelisah, karena harganya begitu tinggi sejak 15 tahun terakhir ini.
Sejak Agustus ini, harga beras terus merangkak naik. Kenaikannya bervariasi. Bahkan, ada yang di kisaran 30 persen.
Sejumlah penyebab ditelisik. Biro Pusat Statistik mencatat bahwa panen beras terakhir terjadi pada bulan Juli lalu. Selebihnya tersendat.
Faktor cuaca bisa menjadi penyebab kenapa panen tersendat di bulan Juli. Bencana kekeringan di seluruh negeri menjadikan produksi beras menurun drastis.
Asosiasi pedagang beras menjelaskan bagaimana mereka begitu sulit mendapatkan suplai beras. Bahkan di penggilingan beras pun sistem penjualannya sudah seperti lelang. Siapa yang berani dengan harga tinggi, dia yang dapat stok.
Kenapa pemerintah tidak impor, seperti yang biasa dilakukan sebelum-sebelumnya? Jawabannya karena ada pengaruh politik global. Yaitu, perang Rusia Ukraina yang merembet ke kebijakan masing-masing negara untuk mengantisipasi krisis pangan.
Dengan bahasa sederhana, semua negara yang biasa mengimpor beras ke Indonesia, seperti Vietnam, Thailand, dan lainnya menutup kebijakan ini. Mereka seperti kompak untuk mengutamakan kebutuhan dalam negeri untuk mengantisipasi efek krisis keamanan global.
Yang kini bisa dilakukan pemerintah sepertinya hanya pada kebijakan parsial, seperti operasi beras murah di masyarakat. Tapi, hal itu tentu tidak akan berlangsung panjang. Sementara, persoalan suplai tampaknya masih terkendala cuaca yang diprediksi baru turun hujan di November nanti.
Itu pun belum termasuk proses panjang produksi beras dari para petani. Karena produksi tidak langsung spontan begitu hujan turun.
Selain bisa menjadi pemicu kenaikan inflasi, yang menjadi kekhawatiran banyak orang adalah krisis beras terjadi di tahun politik. Dan beras adalah kebutuhan pokok yang jika terhambat dampaknya bisa berimbas ke banyak sektor, termasuk politik dan keamanan.
Semoga ada jurus lain dari pemerintah agar krisis harga beras bisa terselesaikan dalam waktu cepat. [Mh]