TRAGEDI politik menimpa Ekuador ketika seorang kandidat pemilihan presiden terbunuh pada Rabu (9/8). Fernando Villavicencio (59) tewas usai ditembak saat meninggalkan sebuah stadion yang menjadi lokasi kampanyenya di Ibukota Quito.
Presiden Guillermo Lasso langsung mengumumkan keadaan darurat selama dua bulan, sambil menegaskan bahwa pemilu akan tetap berlangsung sesuai jadwal pada 20 Agustus 2023. Angkatan bersenjata Ekuador dimobilisasi ke seluruh wilayah untuk menjamin keamanan warga, ketenangan negara dan pemilu yang bebas dan demokratis.
Pendiri Center for Indonesian Reform (CIR), Sapto Waluyo menyatakan turut berduka atas tragedi Ekuador. Kekerasan politik itu merupakan pukulan terhadap proses demokrasi di negara-negara bebas. “Villavicencio dikenal sebagai kandidat yang berintegritas tinggi dan antikorupsi. Dia dekat dengan masyarakat dan menurut survei termasuk ranking kedua yang berpeluang memenangkan pilpres,” ujar Sapto yang pernah menjabat Sekretaris Eksekutif MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia).
Villavicencio dibunuh secara sadis dengan tembakan di kepala sebanyak tiga kali dan bagian tubuh lain secara brutal di muka umum. Pelakunya diduga berasal dari kelompok kejahatan transnasional yang terorganisir terkait kartel narkotika. Latar belakang Villavicencio selaku jurnalis antikorupsi dan anggota parlemen yang vokal memang mengancam kepentingan kartel jahat.
Saat menjadi jurnalis di media El Universo, Villavicencio sangat kritis terhadap pemerintahan seperti Gustavo Noboa yang dituduh melakukan korupsi. Ia melakukan investigasi, betapa pemerintahan korup ternyata berkolaborasi diam-diam dengan kelompok kejahatan. “Kondisi Indonesia mungkin tidak separah Ekuador atau negara Amerika Latin lain. Namun, kasus Ferdy Sambo menunjukkan bahwa kejahatan terorganisir bisa berlindung di balik aparat penegak hukum yang berkedudukan penting. Gejala itu tidak hanya mengancam hak rakyat untuk hidup aman dan bebas, tetapi juga memperlihatkan bahwa kejahatan terorganisir bisa merasuk ke dalam lembaga pemerintahan (state capture),” jelas Sapto. Hukuman mati untuk FS telah dianulir Mahkamah Agung menjadi penjara seumur hidup, dan mungkin bisa berkurang lagi bila berkelakuan baik.
Sapto bersama aktivis 1998 pernah mendirikan Gerakan Rakyat Antikorupsi (GeRAK) Indonesia dan melakukan riset tentang aktor-aktor antikorupsi yang menghadapi berbagai ancaman ketika menjalankan tugas advokasi. Apalagi bila berhadapan dengan pelaku dari kalangan petinggi dan pemodal besar. Ancaman demokrasi di Indonesia selama ini dipersepsi berasal dari kelompok intoleran yang mengkampanyekan politik identitas dan gerakan transnasional keagamaan.
“Tapi, kita lupa pada kelompok koruptor dan oligarki yang membangun jaringan kejahatan semisal illegal mining atau illegal logging, termasuk penyelewengan pajak, yang merampas kekayaan negara. Dengan dana haram yang melimpah (unlimited) itu mereka bisa membeli apa atau siapa saja,” Sapto menegaskan.
Untuk mengantisipasi agar tragedi Ekuador tidak terjadi di Indonesia, maka bukan hanya meningkatkan integritas pemerintahan dan penyelenggara pemilu, namun kelompok masyarakat sipil juga harus terus memperkuat konsolidasi. Kalangan aktivis LSM, para mahasiswa dan akademisi/profesional, termasuk pemuka organisasi masyarakat arus utama (NU/Muhammadiyah dll) harus mengawal proses demokrasi agar bebas dan akuntabel.
Suatu contoh kecil, sosok Pangdam Siliwangi Mayjen Kunto Arief yang dimutasi menjadi Wakil Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI AD menimbulkan pertanyaan bagi publik. Sebelumnya, Mayjen Kunto telah melontarkan gagasan terbuka tentang etika penyelenggara negara dan sikap netral bagi aparat keamanan dan penegak hukum.
Tragedi Ekuador membuktikan bahwa demokrasi dan kebebasan tak diperoleh secara gratis, tetapi harus diperjuangkan meski dengan resiko bertaruh nyawa. [Mh]