MELIHAT Allah di dunia karena Allah menampakkan manifestasi sifat-sifat-Nya di dunia. Melalui manifestasi sifat-sifat-Nya kita bisa hidup bersama Allah di dunia.
Ustaz K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. menjelaskan bahwa nikmat terbesar yang akan diberikan Allah kepada penduduk surga adalah melihat-Nya secara langsung dan sangat jelas.
Seperti melihat bulan purnama sebagaimana disebutkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya.
Akan tetapi, mungkinkah orang-orang beriman bisa melihat Allah di dunia? Sangat mungkin tapi dalam bentuk yang lain.
Ada dua macam melihat Allah: Melihat Dzat Allah dan melihat sifat-sifat-Nya. Atau melihat manifestasi sifat-sifat-Nya.
Melihat Dzat Allah hanya bisa terjadi di surga atas izin, rahmat dan karunia-Nya kepada kita.
Sedangkan melihat sifat-sifat-Nya bisa terjadi dalam kehidupan dunia. Karena Allah menampakkan manifestasi sifat-sifat-Nya di dunia. Melalui manifestasi sifat-sifat-Nya kita bisa hidup bersama Allah di dunia.
Lalu kita melihat rahmat atau kekuasaan Allah pada setiap peristiwa yang kita alami atau kita lihat di sekitar kita. Atau kita bisa melihat perbuatan-perbuatan Allah bersama kita.
Melihat hikmah, kekuasaan dan keagungan-Nya. Kemudian kita selalu teringat Allah dan tidak terpedaya oleh dunia dan isinya. Kita melihat kekuasaan Pencipta alam, bukan alam ciptaan-Nya saja.
Mata kita melihat sesuatu tetapi hati kita menyaksikan keagungan dan hikmah-Nya di dalamnya.
Baca juga: Ya Allah Ampuni Kami
Melihat Allah di Dunia
Orang-orang saleh di sepanjang zaman selalu melihat kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya, melihat hikmah Allah dalam ujian-Nya, dan melihat limpahan karunia Allah dalam berbagai nikmat-Nya.
Itulah surga dunia yang dinikmati orang-orang beriman sebelum mendapatkan surga akhirat.
Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ada surga, siapa yang belum memasukinya maka dia tidak akan memasuki surga akhirat”. Ditanyakan kepadanya: Apa itu? Ia menjawab: “Surga keimanan”.
Ada perbedaan besar antara orang yang hidup bersama Allah dan orang yang hidup bersama berbagai peristiwa, manusia dan kenikmatan.
Orang yang hidup bersama berbagai peristiwa, manusia dan kenikmatan tidak ridha terhadap segala sesuatu yang ada pada dirinya, karena dia tidak melihat cinta Tuhannya di dalamnya.
Orang yang hidup bersama Allah selalu ridha dan bahagia karena dia mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada pada dirinya berasal dari Allah, Kekasihnya.
Ia melihat karunia dan rahmat Tuhannya pada segala sesuatu. Firman Allah:
ۚ وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۗ فَسَاَ كْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَا لَّذِيْنَ هُمْ بِاٰ يٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَ
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka, akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 156)
Di antara makna syahadat adalah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah.
Jika seseorang telah menyaksikan keesaan Allah di dunia dan belum masuk surga akhirat maka dia bisa melihat sifat-sifat-Nya pada segala sesuatu di sekitarnya dan melihat-Nya pada perbuatan-perbuatan-Nya terhadap dirinya.
Dengan demikian dia telah berada di surga dunia.
Melihat Allah dengan cara inilah yang dimaksud sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: “Beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya”.
Itulah ihsan yang diinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗۤ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖ ۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Jika kita telah mewujudkan hal tersebut maka kita akan melakukan lompatan besar dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Kita bisa menyikapi segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Kita bisa hidup bersama Allah, Pencipta segala sesuatu, Pelaku dan Pengatur hakiki bagi segala sesuatu.
Di dunia ini tidak ada makhluk yang bisa mewujudkan kehendaknya kecuali apabila dikehendaki Allah. Firman Allah:
وَمَا تَشَآءُوْنَ اِلَّاۤ اَنْ يَّشَآءَ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan: 30)
Karena itu, kita tidak boleh sibuk memerhatikan nikmat hingga melupakan Pemberi nikmat atau sibuk memerhatikan ujian hingga melupakan Pemberi ujian.
Karena Allah ada pada segala sesuatu dengan sifat-sifat-Nya. Atau sifat-sifat Allah termanifestasikan dalam segala sesuatu. Allah sangat dekat dengan kita. Firman Allah:
وَاِ ذَا سَاَ لَـكَ عِبَا دِيْ عَنِّيْ فَاِ نِّيْ قَرِ يْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّا عِ اِذَا دَعَا نِ ۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.
Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Allah dekat dengan semua manusia tetapi hanya sedikit diantara hamba-Nya yang mendapat karunia bisa melihat-Nya dengan penglihatan hati.
Karena hati punya penglihatan (bashirah) yang bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat mata.
Karena itu kita harus selalu menjaga kesehatan hati dari segala penyakit yang bisa membuatnya buta, seperti ujub, sombong dengki dan penyakit-penyakit lainnya. Firman Allah:
ۚ فَاِ نَّهَا لَا تَعْمَى الْاَ بْصَا رُ وَلٰـكِنْ تَعْمَى الْـقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
“Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Kita bisa menyaksikan penglihatan hati dan pengaruhnya melalui berbagai sikap orang-orang saleh.
Ketika bersedekah misalnya, mereka mengetahui bahwa sedekah itu diterima Allah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
“Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja,
maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengembangkan anak kudanya hingga membesar seperti gunung”. (Bukhari 1321)
Jadi orang yang bersedekah pada hakikatnya mengembalikan harta kepada Allah.
Karena itu, Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu anha, mengoleskan parfum pada dinar-dinar yang akan disedekahkan seraya berkata: “Karena dinar-dinar ini akan jatuh di tangan Allah terlebih dahulu”.
Seorang saleh ingin mengajarkan makna ini kepada orang yang meminta sedekah kepadanya lalu orang saleh ini berkata kepadanya: “Ambillah, bukan untukmu”.
Yakni sedekah ini bukan untukmu tetapi untuk Allah. Kemudian peminta sedekah itu menjawab: “Berikanlah, bukan darimu”.
Yakni pemberi sedekah ini pada hakikatnya bukan kamu tetapi Allah. Kamu hanya menjadi distributor harta Allah saja.
Jika orang yang bersedekah mengetahui bahwa sedekahnya sampai kepada Allah maka dia tidak akan menyombongkan diri dan tidak merasa berjasa kepada orang miskin.
Akan tetapi, dia akan bersikap tawadhu’ atau rendah hati karena dia memberikannya kepada Allah.
Demikian pula jika penerima sedekah mengetahui bahwa dia mengambil sedekah itu dari Allah maka dia tidak merasa hina dan rendah diri.[ind]