SAAT sedang perjalanan mudik, seorang mukmin diberi pilihan untuk tetap puasa atau membatalkannya. Keadaan ini memberinya pilihan antara berpuasa atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
…يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ…
…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu… (Q.S. Al-Baqarah 185)
Makna iradah (menghendaki) pada ayat di atas adalah mahabbah (kecintaan). Jadi apabila seorang musafir berada pada kondisi yang sama antara puasa atau tidak, maka puasa lebih baik baginya sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya.
Baca Juga: Berpuasa di Siang Hari dan Shalat Malam karena Iman
Puasa Bagi yang Sedang Perjalanan Mudik dan Berada di Kampung Halaman
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadan bersama Nabi di bulan Ramadan pada siang hari yang terik, dimana saat itu banyak orang meletakkan tangan mereka di atas kepala agar terlindungi dari sengatan matahari, tidak didapati seorangpun berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Rawahah radhiyallahu ‘anhu.
Pada prinsipnya status musafir akan berlaku tatkala ia telah keluar dari kota asalnya hingga ia kembali. Oleh sebab itu, jika seseorang berada di tempat yang dikunjungi (ketika safar untuk sementara waktu) maka dia masih akan berstatus musafir selama telah berniat untuk tidak menetap di sana kecuali setelah urusannya selesai, demikian dikutip dari buku Dahsyatnya Ramadhan karya Khalid Basalamah.
Namun jika ia berniat menetap lama setelah urusannya selesai dan tidak akan kembali ke kota asal saat ia pergi maka ia berstatus sebagai mukim yaitu orang yang berniat menetap di suatu tempat.
Oleh karena itu bagi para pemudik dari awal sudah perlu menetapkan status dirinya di kampung halaman saat ia mudik, apakah sebagai mukim atau musafir.
Jika sejak awal di tempat perantauan ia sudah berniat sebagai mukim maka saat mudik ke kampung halaman ia berstatus musafir karena ia tidak berniat untuk menetap di kampung halamannya tersebut dan akan kembali setelah lebaran bersama keluarga.
Demikian sebaliknya, jika di tempat perantauan ia berstatus sebagai musafir maka saat mudik ia berstatus mukim, dalam hal ini ia tidak terkena hukum-hukum musafir saat berada di kampung halaman.
Sehubungan dengan itu, pada masa tersebut dia boleh menjalankan rukhshah (keringanan) safar, walaupun dalam jangka waktu yang lama, karena Nabi hallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan batasan waktu terkait hal itu, sehingga status musafir atau hukum-hukum yang terkait dengan safar masih dan akan tetap berlaku sampai ada dalil yang meniadakannya.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa perjalanan mudik yang membuat seseorang berstatus musafir memberinya pilihan untuk berpuasa atau tidak selama itu memudahkan dirinya.
Mereka yang memutuskan untuk tidak berpuasa selama perjalanan mudik atau selama berstatus sebagai musafir di kampung halaman maka harus mengganti puasa yang ditinggalkannya itu di luar bulan Ramadan. [Ln]