SETAN dibelenggu di Bulan Ramadan. Tapi, kenapa maksiat masih tidak sedikit.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa di bulan Ramadan, setan-setan dibelenggu. “Ketika Ramadan datang, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari Muslim)
Meski begitu, kenyataannya, tidak sedikit umat Islam yang masih melakukan maksiat. Misalnya, adanya tawuran antar pemuda yang beda kampung, olah raga pagi yang disalahgunakan untuk berpacaran atau biasa disebut ‘asmara Subuh’, sembunyi-sembunyi tidak berpuasa, dan lainnya.
Ada yang berpendapat bahwa setan dibelenggu itu bukan makna yang sebenarnya. Hanya kiasan bahwa setan tidak bisa leluasa menggoda manusia karena manusia sedang berpuasa.
Tapi, ada riwayat lain yang lebih detil lagi menyebut setan-setan jahat dan jin-jin jahat. Hal ini seolah menunjukkan memang makna yang sebenarnya.
Ada juga pendapat yang di pertengahan. Bahwa, yang dibelenggu itu setan-setan kelas kakap. Sementara kelas terinya masih tetap berkeliaran. Wallahu a’lam.
Ada ulama yang berpendapat bahwa maksiat itu bisa jadi memang datang dari dalam diri seseorang. Bukan selalu dari pengaruh setan.
Yaitu, tabiat manusia yang ingin menuruti hawa nafsunya. Dan nafsu manusia kerap mengajak untuk berbuat buruk atau maksiat.
Dan orang-orang yang sudah menuhankan hawa nafsunya, ia sudah seperti setan. Tapi, dalam wujud manusia. Karena keburukannya, juga ditularkan ke orang lain. Hal ini tak ubahnya seperti setan dalam bentuk jin.
Terlepas dari keragaman pendapat itu, sudah saatnya kita tidak melulu memanjakan hawa nafsu kita. Paksa dia. Didik dia agar tidak seperti anak kecil yang rewel dan manja. Yang kalau tidak dituruti kemauannya akan menangis dan merengek.
Di sinilah pertarungannya. Yaitu, pertarungan yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Antara dorongan iman dan dorongan hawa nafsu yang liar.
Ketika konflik itu terus berkecamuk dalam diri kita, maka kita butuh kekuatan luar diri. Yaitu, lingkungan yang mendukung tumbuh suburnya keimanan. Bukan yang menumbuhsuburkan hawa nafsu.
Misalnya dalam pertemanan. Karena itu, berhati-hatilah memilih lingkungan. Dan berhati-hatilah memilih teman.
Pilihlah lingkungan atau teman yang bisa menularkan kebaikan melalui saling berwasiat. Yaitu, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. [Mh]