Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sunnah lebih banyak di bulan Sya’ban. Bahkan seperti berpuasa sebulan penuh.
Islam memberikan perhatian penuh dalam ibadah berskala besar. Yaitu ibadah yang dari segi waktu memiliki rentang yang panjang dan pelaksanaannya melibatkan banyak hal.
Misalnya ibadah haji. Ibadah haji diapit oleh dua bulan haram atau bulan mulia yang dihormati umat Islam dan orang Arab di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu, Zulqa’dah dan Muharam. Dan bulan Zulhijjah itu sendiri termasuk dalam bulan haram.
Dalam bulan haram atau mulia itu terdapat budaya dan kesepakatan bersama orang Arab. Antara lain, tidak boleh ada peperangan atau permusuhan.
Di masa Nabi, umat Islam yang ingin beribah haji setidaknya butuh tiga bulan itu untuk perjalanan pergi, pelaksanaan, dan perjalanan pulang.
Dengan begitu, pelaksanaan ibadah haji menjadi aman dan jamaah yang berada dari tempat jauh pun bisa memungkinkan pergi karena mendapat jaminan keamanan. Meskipun saat itu, belum semua wilayah Arab memeluk Islam.
Begitu pun dalam ibadah di bulan Ramadan. Kalau dalam ibadah haji fokusnya pada keamanan jamaah, sementara pada ibadah Ramadan pada kesiapan dan kebiasaan umat Islam dalam berpuasa penuh selama sebulan.
Itulah mungkin kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan untuk memperbanyak puasa sunnah di bulan sebelum Ramadan, yaitu Sya’ban.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bulan puasa yang sebenarnya memang di bulan Ramadan. Tapi, persiapan dan pengkondisiannya sudah dilakukan pada satu bulan sebelumnya, yaitu bulan Sya’ban.
Bukan hanya pada puasanya, dalam hal qiyamul lail dan tilawah Al-Qur’annya pun para salafus soleh mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengawalinya pada bulan Sya’ban.
Pada Bulan Sya’ban, generasi salafus soleh istirahat dari kesibukan duniawi mereka. Misalnya, mereka menutup toko, demi untuk fokus tilawah Al-Qur’an. Hal ini agar ketika Bulan Ramadan tiba, mereka tidak mulai dari nol, tapi sudah fase optimalisasi.
Bagaimana dengan sesudah Ramadan? Dalam hal puasa, Nabi menyunnahkan untuk menyambung dengan puasa sunnah Syawal selama enam hari. Yaitu, dimulai dari tanggal 2 Syawal atau sehari sesudah Hari Raya Idul Fitri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang puasa Ramadan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di Bulan Syawal, maka ia mendapat pahala puasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
Seperti itulah Islam merancang ibadah dalam skala besar, seperti haji dan Ramadan. Dan segala insentif sebelum dan sesudahnya, kebaikannya kembali kepada kita.
Jadi, cobalah sebisa mungkin mengikuti sunnah yang dicontohkan Nabi dalam menyiapkan diri di bulan Sya’ban. Dengan begitu, kita benar-benar siap seratus persen saat memasuki bulan Ramadan. [Mh]