SEHAT itu ada dua: fisik dan jiwa atau mentalitas. Sayangnya, kadang orang bingung mana yang pertama dan kedua. Fisik atau jiwa yang lebih dahulu?
Men Sana In Corpore Sano merupakan ungkapan dari seorang pujangga Romawi abad kedua sebelum masehi. Ia bernama Decimus Lunius Juvenalis yang ditulis dalam karyanya berjudul Satire X.
Ungkapan ini terus menyebar dan dibahasakan dalam Bahasa Inggris sebagai a healthy mind in a healthy body. Artinya kira-kira, akal pikiran yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat.
Menariknya, di lingkungan kita istilah ini diartikan sebagai ‘di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat’.
Akhirnya ungkapan ini seperti terlokalisir dalam dunia olah raga. Bahwa, dalam fisik yang bugar terdapat mentalitas dan akal pikiran yang cemerlang.
Di semua makna dari ungkapan Romawi itu seperti menjadikan sehat dan bugar fisik sebagai central diri seorang manusia. Seolah orang yang sehat fisiknya akan bagus mentalnya: berani, rajin, sportif, bijaksana, optimis, dan lainnya.
Tidak heran jika akhirnya dunia seperti mengejar kesehatan fisik untuk bisa mendapatkan kebahagiaan jiwa. Orang lebih memperhatikan sehat fisiknya dengan rajin berolah raga daripada memperhatikan jiwanya. Hal ini setidaknya terlihat dari terpinggirkannya peran agama sebagai andalan sehatnya jiwa.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang pernah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, baiklah seluruh jasadnya. Dan bila ia buruk, buruk pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti mengajarkan kita bahwa central diri itu bukan pada sehat fisik. Tapi pada sehat hati. Dan hati merupakan bagian dari jiwa kita. Sementara mentalitas merupakan keadaan jiwa kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tidak pernah sakit kecuali saat menjelang ajalnya. Beliau selalu sehat dan bugar. Padahal, tidur beliau tidak banyak, makanan beliau juga sangat sederhana.
Hal ini sekaligus membuktikan bahwa jika hati sehat, fisik insya Allah akan selalu sehat. Dan sehatnya hati seiring sejalan dengan sehatnya iman seseorang kepada Allah subhanahu wata’ala.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “…Dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Tagabun: 11)
Seorang cendekiawan muslim abad pertengahan, Ibnu Sina, pernah menyampaikan, “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah awal kesembuhan.”
Sehat dalam konsep Islam ternyata begitu murah, bahkan gratis. Yaitu, dengan terus menjaga keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Bisa dengan memperbanyak zikrullah, ibadah-ibadah yang disunnahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saling nasihat menasihati dalam Al-Haq dan kesabaran.
Dengan cara ini, bukan hanya sehat yang murah yang bisa didapatkan. Melainkan juga, pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Dan itulah modal utama kita untuk meraih akhirat yang baik. [Mh]