SIAPA pun yang ingin tiba di tempat tujuan, harus terus melangkah. Jangan ada patah semangat. Tidak boleh ada kata menyerah.
Hidup ini sebuah perjalanan. Tak seorang pun yang tahu berapa langkah lagi akan tiba di tempat tujuan. Ada jarak yang jauh. Ada jalan naik dan turun.
Kalau saja para sahabat Rasulullah generasi pertama tahu berapa tahun lagi Islam akan jaya, mungkin mereka akan berjalan santai saja.
Namun, mereka dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan, kecuali apa yang Allah sampaikan melalui wahyu.
Yang mereka lakukan hanya melangkah dan terus melangkah. Rute yang mereka lalui pun terus menanjak. Tanjakan semakin tinggi dan terjal.
Semakin dakwah Islam dikenal, semakin banyak yang memusuhi mereka. Ancamannya bukan lagi siksaan, tapi pembunuhan dan pengusiran.
Setelah 13 tahun di Mekah, mereka pun diperintahkan Allah hijrah ke Madinah. Apakah di Madinah jalan tak lagi terjal?
Justru lebih terjal dari yang mereka lalui semasa di Mekah. Musuh-musuh mereka tak cuma musyrik Quraisy yang notabene masih sanak kerabat mereka. Melainkan berbagai bangsa dan pengikut agama lain.
Boleh jadi, tak terbayangkan kalau mereka akan berhadapan dengan tentara super canggih di zamannya seperti Romawi dan Persia. Ada pengikut agama Yahudi dan Nasrani yang siap merongrong mereka. Dan satu lagi yang tidak pernah terjadi Mekah, adanya kaum munafik yang menyelinap ke dalam barisan.
Sebuah riwayat menyebutkan, sepulang dari Perang Tabuk di sebelah utara Madinah, Rasulullah dan para sahabat beristirahat di sebuah lembah nan indah. Kiri kanan begitu hijau, subur, dan menenteramkan.
Seorang sahabat berujar, andai kita bisa menetap di sini. Saat itu turun firman Allah subhanahu wata’ala, “Dan infakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan jangalah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin).” (QS. Al-Baqarah: 194)
Dalam tafsir Al-Muyassar disebutkan bahwa makna dari menjatuhkan diri dalam kebinasaan adalah meninggalkan jihad dan tidak berinfak untuk perjuangan di jalan Allah.
Boleh jadi, angan-angan untuk beristirahat tergolong manusiawi. Termasuk juga para sahabat radhiyallahum ajma’in. Tapi, tidak demikian bimbingan Allah subhanahu wata’ala.
Mereka menjadi begitu terlatih untuk mengabaikan kebutuhan duniawi demi untuk perjalanan yang panjang dan terjal.
Selepas perang Tabuk ada lagi perang-perang besar lainnya. Dan perjuangan mereka tidak juga berhenti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.
Kini, kita adalah salah satu bagian dari buah perjuangan para sahabat dan generasi sesudah mereka. Buah dari kegigihan, kesabaran, dan pantang menyerah.
‘Warna’ generasi saat ini pun berubah. Orang bisa beristirahat kapan saja. Bahkan ada yang gigih berjuang demi untuk bisa istirahat dengan nyaman.
Tujuan perjuangan tidak lagi ikhlas untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Melainkan untuk menyiapkan kenyamanan masa istirahat panjang individu dan keluarga.
Dan inilah ‘warna’ generasinya. Jumlahnya banyak, tapi tak begitu dianggap oleh dunia. Seperti buih yang hanyut dalam aliran sungai kerusakan. [Mh]