SETELAH Urwah bin Zubair kehilangan satu kaki dan anaknya saat kunjungannya ke Damaskus. Ia memutuskan pulang ke Madinah.
Di perjalanan kembali, sesampainya di Wadil Qura tempat ia mengalami musibah yang pertama. Air matanya mengalir juga.
Rasa sedih, sabar, dan haru menguasai jiwanya. Ia berserah diri kepada Allah dan rela kepada takdirnya.
Di tengah lautan pasir gurun yang membentang dan hembusan angin sepoi-sepoi ia menengadahkan wajah ke langit dan mengangkat kedua tangannya.
Lantunan doa terucap dari bibirnya, “Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Ya Allah, sebelum musibah ini, aku mempunyai tujuh orang anak.
Kini Engkau telah mengambil seorang dari mereka dan menyisakan enam orang lainnya.
Sebelum musibah ini, aku memiliki empat cabang (dua tangan dan dua kaki). Kini Engkau telah mengambil satu cabang dan menyisakan tiga cabang lainnya.
Sungguh, jika Engkau telah menimpakan kesakitan. Engkau pun telah mengaruniakan kesembuhan. Sungguh jika Engkau telah mengambil, Engkaupun masih menyisakan.”
Ujian Keimanan Urwah bin Zubair Saat Harus Kehilangan Kaki dan Anaknya (Bag. 2)
Demikianlah doa mampu menguatkan baktinya kepada Allah. Tidak hanya merefleksikan kesabaran, kerelaaan, penyerahan diri kepada Sang Penguasa Alam, namun juga menunjukkan adanya semangat dan daya juang.
Doa itu mampu membuatnya melihat sisi positif dari musibah kehilangan. Bahwa masih banyak nikmat yang Allah beri kepadanya dibanding ujian yang menimpanya.
Dari kisah ini kita juga bisa belajar bahwa ada orang yang ditimpa musibah lebih besar dari kita. Termasuk Urwah bin Zubair.
Dikisahkan seorang laki-laki dari Bani Abas suatu hari datang kepada Amirul Mukminin Al-Walid bin Abdul Malik. Laki-laki tersebut memiliki wajah yang rusak dan mata yang buta.
Sang Amir pun menanyakan sebab kebutaan dan kerusakan wajahnya. Ia pun menjawab bawah dahulu dirinya adalah seorang yang kaya raya, memiliki istri, anak-anak, ternak unta dan banyak kekayaan lainnya.
Suatu hari datang banjir besar dari puncak bukit, sehingga menghanyutkan seluruh hartanya dan anggota keluarganya. Yang tersisa hanya bayinya yang masih berusia beberapa bulan dan seekor unta.
Ketika banjir mulai reda, untanya memekik keras dan berusaha untuk lari. Ia segera mengejar unta tersebut dan meninggalkan bayinya.
Namun baru saja ia melangkahkan kaki untuk mengejar untanya, ia mendengar tangisan keras bayinya. Sontak ia kembali.
Malangnya, saat ia telah kembali, setengah tubuh bayinya telah diterkam seekor serigala. Darah menetes deras dari mulut serigala tersebut juga tubuh bayinya.
Ia berpikir sudah tidak mungkin lagi menyelamatkan bayinya, maka ia kembali mengejar untanya dengan perasaan campur aduk.
Ketika ia telah berada di belakang unta untuk memegang tali kekangnya, unta itu justru menendang muka dengan kedua kaki belakangnya, sehingga wajah laki-laki itu hancur.
Mendengar kisah pilu tersebut Khalifah Al-Walid tertegun beberapa saat. Ia kemudian berkata, “Pergilah kepada Urwah bin Zubair. Ceritakan apa yang engkau alami, agar ia mengetahui ada orang lain yang mendapat ujian lebih berat dari ujian yang ia alami.”
Demikian ujian akan menimpa setiap insan untuk menguji seberapa teguh iman menancap di jiwanya. Kita juga bisa memahami bahwa bisa jadi ada orang-orang yang ditimpa cobaan lebih berat dari yang kita alami. Hal ini menjadi kesempatan bagi kita untuk bersyukur
[Ln]