BOLEHKAH membunuh hewan yang mengganggu dan membahayakan? Seperti diketahui, Islam mengajarkan berbat ihsan dan kasing sayang kepada semua makhluk. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
في كل كبد رطبة أجرا
“Dalam setiap perbuatan baik terhadap makhluk yang bernyawa ada pahalanya“ (HR. Bukhari no.2234, Muslim no. 2244).
Baca Juga: Tentang Sepuluh Hewan yang Masuk Surga
Bolehkah Membunuh Hewan yang Mengganggu dan Membahayakan?
Termasuk berbuat ihsan dan kasih sayang kepada binatang.
Namun, dijelaskan oleh Ustaz Yulian Purnama dalam channel telegramnya Fawaid Aswad, jika ada binatang yang mengganggu kita atau bahkan membahayakan diri kita, boleh menyingkirkannya dan boleh membunuhnya jika diperlukan.
Penjagaan diri manusia dan kemaslahatan manusia lebih diutamakan dan didahulukan daripada kasih sayang kepada binatang.
Oleh karena itu, para fuqaha memiliki kaidah:
كل مؤذي من الحيوانات والحشرات أنه يُقتل أو يُتخلص منه
“Setiap binatang yang mengganggu itu boleh dibunuh dan disingkirkan.”
Karena hewan-hewan di muka bumi, Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia. Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Dan telah Kami muliakan manusia, dan Kami jadikan bagi mereka dan kami beri rezeki kepada mereka berbagai macam kebaikan yang ada di darat dan di laut.
Dan sungguh kami karuniakan mereka melebihi makhluk-makhluk lain yang Kami ciptakan.” (QS. Al Isra’: 70).
Allah ta’ala berfirman:
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
“Dan binatang-binatang ternak, Kami ciptakan bagi kalian. Di dalamnya ada.
Dari binatang ternak tersebut kalian mendapatkan pakaian dan olahan pangan, serta manfaat-manfaat lainnya yang kalian makan.” (HR. An Nahl: 5).
Oleh karena itu hewan ternak, ikan-ikanan, binatang buruan, Allah bolehkan untuk dibunuh dan diburu. Semua itu untuk kemaslahatan manusia.
Maka demikian juga, binatang-binatang lain yang tidak biasa dimakan dan tidak biasa diburu, juga Allah ciptakan untuk kemaslahatan manusia.
Ketika justru menimbulkan gangguan atau bahaya, boleh juga untuk disingkirkan atau dibunuh.
Syaikh Muhammad Al Imam ketika ditanya tentang membunuh semut yang mengganggu, beliau menjelaskan:
“Boleh memberi racun kepada semut-semut tersebut, kemudian singkirkan mereka.
Ada kaidah di antara para ulama fiqih: “Setiap binatang yang menganggu itu dibunuh dan disingkirkan.“
Jadi ini boleh. Dan terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa ada seorang Nabi yang digigit semut.
Lalu ia memerintahkan orang untuk membakar sarang semut. Maka Allah pun mewahyukan kepadanya:
هلا نملة واحدة، فإنك قد أحرقت أمة تسبح لله
“Mengapa tidak satu semut saja (yang kau bunuh)? Karena sebenarnya engkau telah membakar kaum yang bertasbih kepada Allah“
Maksud hadits ini, cukup satu semut yang mengganggu saja yang dibunuh. Sehingga ini menunjukkan bahwa Allah mengizinkan Nabi tersebut untuk membunuh semut yang menggigitnya.” (Mauqi’ Syaikh Al Imam, fatwa no. 783).
Namun jika bisa menyingkirkan hewan yang mengganggu tanpa membunuhnya, itu lebih utama. Karena ini menggabungkan antara sikap lemah lembut dan menghilangkan gangguan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Tidak mengapa membunuh rubah (fox) atau monyet jika mengganggu.
Sebagaimana dalam hadits, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خمسٌ فواسقٌ يُقتلْنَ في الحلِّ والحرمِ : الحيةُ ، والغرابُ الأبقعُ ، والفارةُ ، والكلبُ العقورُ ، والحُدَيَّا
“Ada lima hewan fasiq yang boleh dibunuh di luar tanah haram maupun di dalamnya: ular, gagak, tikus, anjing hitam, dan burung buas.” (HR. Muslim no. 1198).
Dalam riwayat lain disebutkan juga: “.. ular dan binatang buas.” Maka semua hewan ini boleh dibunuh. Maka jika datang monyet atau kucing yang mengganggu, boleh dibunuh.
Jika memang tidak ada cara lain yang mudah dilakukan untuk menghilangkan gangguan, selain dengan membunuhnya. Namun jika sekedar takut sedikit saja, maka tidak perlu membunuhnya.” (Mauqi’ Syaikh Ibnu Baz, fatwa no. 17264).
Wallahu ta’ala a’lam. [Cms]
@fawaid_kangaswad