BERIMAN bahwa segala yang baik dan buruk telah ditakdirkan Allah. Kalimat ini menjadi pengingat untuk kita agar bisa menerima segala ketetapan Allah.
Baca Juga: Hakikat Beriman kepada Takdir
Beriman bahwa Segala yang Baik dan Buruk telah Ditakdirkan Allah
Imam Al-Muzani Rahimahullah menyatakan, dan para makhluk itu melaksanakan apa yang telah diciptakan olehNya berupa Kebaikan atau Keburukan.
Para makhluk mengerjakan perbuatan. Perbuatan mereka adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan segala sesuatu: baik maupun buruk. Segala kejadian, baik ataupun buruk telah ditakdirkan Allah, dan terjadi atas kehendak Allah.
Secara akidah dan keyakinan, kita harus Meyakini bahwa segala sesuatu baik dan buruknya berasal dari taqdir yang telah Allah tetapkan, berjalan atas kehendak Allah.
Namun, secara adab, kita tidaklah menisbatkan keburukan kepada Allah. Karena Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam bersabda:
وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ
Dan keburukan tidaklah (dinisbatkan) kepadaMu. (H.R Muslim no 1290).
Sebagai contoh: dalam berdoa, kita tidak boleh menyatakan: Wahai Tuhan pencipta keburukan, Wahai Tuhan pencipta syaithan, dan ungkapan-ungkapan semisalnya.
Simaklah Adab yang diajarkan dalam Al-Qur’an tentang bagaimana menisbatkan kebaikan pada Allah dan tidak menisbatkan keburukan kepadaNya.
Nabi Ibrahim Alaihis Salam tidak menisbatkan datangnya penyakit bersumber dari Allah, tetapi beliau menisbatkan penyembuhan kepada Allah:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Dan jika aku sakit, maka Dialah (Allah) Yang Menyembuhkanku. (Q.S asy-Syu’araa’:80).
Al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i Rahimahullah menyatakan:
أسند المرض إلى نفسه، وإن كان عن قدر الله وقضائه وخلَقْه، ولكن أضافه إلى نفسه أدبا
(Nabi Ibrahim) menyandarkan sakit pada dirinya, walaupun itu terjadi atas taqdir, ketentuan, dan ciptaan Allah, akan tetapi beliau sandarkan (sakit) itu pada dirinya sebagai bentuk adab. (Tafsir al-Qur’anil Adzhim karya Ibnu Katsir, tafsir surat asy-Syuaraa’ ayat 80).
Demikian juga dalam surat al-Fatihah yang sering dibaca dalam sholat.
Kita meminta petunjuk kepada Allah. Petunjuk yang mengarahkan pada orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, bukannya jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
Berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukannya jalan orang yang dimurkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat. (Q.S alFatihah: 6-7).
Ibnu Katsir asy-Syafi’i Rahimahullah menyatakan:
فأسند الإنعام إلى الله، سبحانه وتعالى، والغضب حُذف فاعله أدبًا، وأسند الضلال إلى العبيد
Maka (dalam doa ini kita) menisbatkan pemberian nikmat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, sedangkan kemurkaan dihilangkan penyebutan pelakunya, sebagai bentuk adab.
Dan menisbatkan kesesatan kepada hamba-Nya. (Tafsir al-Qur’anil Adzhim karya Ibnu Katsir, tafsir surat asy-Syuaraa’ ayat 80).
Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam -dalam hadits Qudsi- juga memberikan tuntunan adab semisal itu.
Jika seseorang mendapatkan kemudahan dalam berbuat ketaatan, hidayah, dan semisalnya, kemudian nanti di akhirat mendapatkan balasan kebaikan, maka pujilah Allah. Karena Dialah yang memberikan taufiq dan hidayah itu.
Namun, jika ia melakukan kemaksiatan dan dosa, kemudian mendapatkan akibat buruk dari perbuatan dosa itu, janganlah mencela kecuali dirinya sendiri.
…فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
… Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, maka pujilah Allah. Barangsiapa yang mendapati selain itu, maka janganlah mencela kecuali dirinya sendiri. (H.R Muslim no 4674).
Segala perbuatan Allah adalah baik, berkisar antara keadilan dan kelebihan kebaikan (Fadhl) dariNya.
Jika ada sesuatu yang terlihat atau dirasakan oleh manusia sebagai sesuatu keburukan, pada dasarnya hal itu adalah baik akibatnya dan baik sesuai dengan hikmah yang diketahui oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. [Cms]
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah.
http://telegram.me/alistiqomah