SIAPA yang gemar menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan menuju surga.
Ada seorang sahabat Rasulullah yang begitu gemarnya menuntut ilmu dan begitu rajin ibadah. Ia adalah Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma.
Usianya masih sangat muda saat Rasulullah hijrah ke Madinah. Abdullah lahir di tahun keenam kenabian. Hampir seangkatan dengan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum.
Abdullah bin Amr masuk Islam di usia sekitar 14 tahun atau pada tahun ke-7 hijriyah. Menariknya, ia masuk Islam satu tahun sebelum ayahnya.
Abdullah tinggal di keluarga yang kaya. Dari situlah, ia bisa menikmati belajar membaca dan menulis. Suatu keadaan yang jarang dialami para sahabat kebanyakan.
Meski di usia yang masih belasan tahun, Abdullah bin Amr begitu haus menuntut ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam. Berbeda dengan para sahabat Rasul yang lain, Abdullah mencatat apa yang ia dengar dari Nabi.
Karena khawatir melakukan kesalahan, Abdullah sempat minta izin ke Rasulullah untuk mencatat apa yang dapat dari Nabi. Dan Rasulullah mengizinkan.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengakui keunggulan Abdullah bin Amr itu. Ia mengatakan, ilmu Abdullah lebih akurat dariku karena ia mencatat sementara aku menghafal.
Catatan tentang ilmu yang disampaikan langsung dari Rasulullah meliputi kurang lebih seribu hadis. Kumpulan catatan itu ia namakan As-Shahifah Ash-Shadiqah atau kumpulan tulisan yang benar.
Tidak heran jika para perawi hadis langsung menjadikan catatan itu sebagai rujukan. Antara lain, Imam Bukhari mengambil sebagian dalam shahihnya, begitu pun dengan Imam Muslim. Bahkan, Imam Ahmad memasukkan seluruh catatan Abdullah bin Amr itu masuk dalam kitab hadisnya.
Di kalangan generasi tabi’in, tiga Abdullah ini: Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Amr bin Ash sebagai rujukan utama mereka. Jika ketiganya bersepakat, maka fatwanya menjadi sangat kuat.
Ada fitnah yang pernah dialami Abdullah bin Amr bin Ash. Yaitu, ketika terjadi perang Shiffin. Perang ini begitu memprihatinkan karena berlangsung antara dua golongan para sahabat. Satu pihak mendukung Ali bin Abi Thalib dan satunya lagi mendukung Muawiyah bin Abu Sufyan. Masalahnya, ayahnya: Amr bin Ash ada di pihak Muawiyah.
Salah seorang putra Ali bin Abi Thalib, Husein bin Ali yang juga cucu Nabi yang sangat ia hormati, menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Amr: “Kenapa engkau berada di pihak Muawiyah?”
Abdullah bin Amr menjelaskan bahwa keberpihakannya tidak ia anggap serius. Ia tidak mau membawa senjata, tidak mau menyakiti lawan, dan tidak mau di barisan depan. Ia hanya sekadar birrul walidain kepada ayahnya.
Hal ini karena Rasulullah pernah menyuruhnya untuk menuruti perintah ayahnya: Taatilah aku dan patuhi perintah ayahmu.
Hadis ini berkenaan dengan keluhan ayahnya yang gelisah dengan anaknya yang begitu gemar beribadah dan kurang memperdulikan kehidupan duniawi, padahal ia masih sangat muda.
Di saat siang hari, Abdullah bin Amr berpuasa dan menghafal Al-Qur’an, di malam harinya ia beribadah sepanjang malam. Abdullah bin Amr biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap sehari.
Rasulullah menasihati Abdullah bin Amr dengan memberikan pilihan puasa sunnah: engkau bisa berpuasa tiga kali sebulan, berpuasa dua kali sepekan. “Aku bisa lebih banyak dari itu, Ya Rasulullah,” ucap Abdullah bin Amr.
Akhirnya, Abdullah bin Amr mengikuti yang disampaikan Rasulullah, yaitu berpuasa sunnah Daud: satu hari puasa, satu hari berbuka.
Abdullah bin Amr bin Ash wafat di usia 72 tahun, atau sekitar 50-an tahun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.
**
Kita tidak pernah tahu kapan konflik di antara orang terdekat melibatkan diri kita. Atau, munculnya masalah lain yang menuntut kecepatan kita untuk mengambil pilihan yang paling kecil madharatnya.
Di situlah, ilmu dan keikhlasan akan memberikan jawaban. Setidaknya, ada dalil yang menjadikan kita tidak berada pada pilihan yang salah. [Mh]