NABI Musa alaihissalam diperintahkan Allah untuk belajar dengan Nabi Khidir alaihissalam. Ada pelajaran menarik dari interaksi keduanya.
Dalam Surah Al-Kahfi, Allah subhanahu wata’ala mengisahkan tentang Nabi Musa alaihisssalam dengan Nabi Khidir alaihissalam. Nabi Musa sebagai murid dan Nabi Khidir sebagai guru.
Kalau ditanya, lebih mulia mana orang yang beradab dengan orang yang berilmu. Jawaban dari para ulama adalah orang yang beradab.
Alasannya begitu menarik. Menurut mereka, kalau hanya ilmu dengan minim adab, Iblis boleh jadi lebih banyak ilmunya. Tapi adabnya sama sekali nol.
Nabi Musa ilmunya tentu sangat banyak. Tapi, ketika belajar dengan Nabi Khidir, Nabi Musa seperti merasakan hal yang lain.
Yaitu, tentang adab yang harus didahulukan daripada ilmu itu sendiri. Sesuatu yang kita ketahui boleh jadi tidak ada nilainya jika tidak diiringi dengan adab.
Nabi Khidir mewanti-wanti Nabi Musa untuk tidak menanyakan atau protes selama proses pembelajaran. Karena nantinya akan dijelaskan.
Namun, selama tiga pelajaran yang ditunjukkan Nabi Khidir, tiga kali pula Nabi Musa mempertanyakannya.
Seolah, Nabi Khidir ingin ‘mendidik’ Nabi Musa dalam hal adabnya.
Allah subhanahu wata’ala memang meninggikan orang-orang yang beriman dengan banyak ilmu daripada dengan minim ilmu.
Tentu dengan keilmuan yang juga dengan ketinggian adab. Dan memang seperti itulah mestinya. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin bagus adabnya.
Namun, tidak sedikit mereka yang ilmunya banyak, tapi adabnya minim. Jangan heran jika, misalnya, ada sosok cendekiawan yang tertangkap karena melakukan korupsi.
Apa dia tidak tahu kalau korupsi itu haram. Tentu sangat tahu. Tapi kenapa ia lakukan? Hal itu karena adabnya sangat minim.
Boleh jadi, itulah makna dari firman Allah bahwa surga untuk mereka yang beramal. ‘Jazaa-an bimaa kaanuu ya’maluun’. Surga itu sebagai balasan untuk mereka yang beramal.
Ayat itu tidak mengatakan, ‘jazaa-an bimaa kaanuu ya’lamuun’. Surga itu sebagai balasan untuk mereka yang berilmu. Bukan seperti itu.
Artinya, ilmu baru bisa bernilai jika diikuti dengan amal. Baik amal untuk dirinya, maupun amal yang dilakukan untuk kebaikan orang lain.
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa bersalah jika mendapatkan ilmu dari Rasulullah tapi belum bisa mengamalkannya.
Ketika para shahabiyah mendapat ilmu bahwa menutup aurat itu wajib, maka mereka dengan serta merta mengamalkannya. Meskipun dengan penutup yang darurat.
Ketika para sahabat mendapat ilmu bahwa khamar itu haram, maka para sahabat langsung mengamalkannya. Yaitu dengan membuang semua khamar yang mereka miliki.
Jadi, silahkan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Tapi jangan lupa untuk mengamalkannya. Karena ketinggian ilmu baru bisa bernilai jika amalnya juga bagus. [Mh]