MINTA maaf merupakan hal yang berat dilakukan. Dan lebih berat lagi memaafkan kesalahan orang lain.
Secara jujur, jika kita mampu membalas keburukan yang dilakukan orang lain, maukah kita memaafkannya?
Rasanya tidak. Lain halnya jika kita tidak mampu membalas, mungkin memaafkan menjadi pilihan yang terpaksa dilakukan.
Memaafkan bisa dibilang berada di atas kerelaan untuk minta maaf. Meskipun minta maaf atas kesalahan yang dilakukan juga bukan perkara ringan.
Biasanya, orang akan gengsi untuk minta maaf. Terlebih lagi terhadap orang yang ‘posisi’nya berada di bawah kita. Seperti, adik, anak, bawahan, dan lainnya.
Tidak heran jika Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa salah satu ciri para penghuni surga adalah mereka yang mampu menahan marah dan mudah memaafkan.
“(Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain…” (QS. 3: 134)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencontohkan ini. Ketika Mekah ditaklukan umat Islam, warganya pasrah apa yang akan dilakukan Rasulullah dan pasukannya.
Hal ini karena mereka mengakui kejahatan yang luar biasa terhadap Rasul dan para sahabatnya. Mereka telah menyiksa, membunuh, mengusir, dan terakhir memerangi.
Mereka pasrah ketika Rasulullah dan para sahabatnya kini menguasai nasib mereka. Sepertinya, mereka membayangkan nasib buruk yang akan terjadi.
Namun, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Mereka dimaafkan Nabi. Mereka pun diberikan kehormatan untuk memilih: masuk Islam atau tetap kafir tapi terikat dalam kesepakatan.
Namun, sebagian besar mereka lebih memilih masuk Islam. Mereka begitu jatuh cinta dengan akhlak mulia yang diajarkan Islam dan dicontohkan Nabinya.
Kelak, dari merekalah akan lahir pejuang-pejuang dan para ulama di masa depan. Dan itulah wajah Mekah saat ini.
Ada sisi lain yang bisa menjadi pelajaran dari sifat memaafkan. Yaitu, mereka yang berbuat salah baru menyadari kesalahannya ketika mereka dimaafkan. Meskipun awalnya mereka tidak minta maaf.
Kesadaran yang sempurna tidak pernah datang dari keterpaksaan. Tidak juga dari ketakutan. Tapi dari kearifan untuk memaafkan.
Bukan itu saja. Dengan kearifan untuk memaafkan ini, orang yang dulu selalu menargetkan keburukan untuk kita, akan berbalik total. Mereka berubah menjadi sahabat yang setia.
Inilah tangga-tangga akhlak seorang muslim. Meminta maaf memang bukan perkara gampang, karena ada gengsi di situ.
Dan lebih berat lagi kerelaan untuk memaafkan, dengan permintaan maaf dari mereka atau tidak. Allah subhanahu wata’ala Maha Pemaaf dan mencintai orang yang suka memaafkan. [Mh]